Menulis ulang Sapardi Djoko Damono
Saat ini kita tak letih-letih nya dihantam oleh kesedihan, situasi pandemi belum reda mesti ditambah dengan berita kehilangan nya salah satu sastrawan besar indonesia yaitu Prof.Dr.Sapardi Djoko Damono.
Hari ini kita semua tentu berduka, bagaimana tidak beliau adalah penulis puisi "Aku Ingin" yang berhasil membuat para anak muda menjadi kenal dan dekat dengan wajah kesusastraan indonesia.
Saya dulu punya dosa besar sering mengutip puisi ini sebagai modus hehe, tapi hasilnya jitu sob
Namun semakin berkembang nya waktu, saya tak hanya mengenal beliau dalam puisi itu saja, hal itu justru menumbuhkan gairah saya dalam menulis, dan membaca mengenai kesuastraan indonesia. Ditambah salah satu bukunya mengenai teori sastra bandingan membantu saya dalam menyelesaikan skripsi saya tahun kemarin.
Pada Sautu Hari Nanti
karya: Sapardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
Berbicara puisi saya kembali teringat mengenai pesan Walt Whitman dalam film Dead Poet Society: We don't read and write poetry because it's cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. And medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for
Kita tidak membaca dan menulis puisi karena itu lucu. Kita membaca dan menulis puisi itu karena kita adalah bagian dari umat manusia. Dan manusia, tentu selalu di penuhi dengan berbagai macam gairah. Ilmu kedokteran, hukum, bisnis, teknik, semuanya adalah ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan. Akan tetapi, Puisi, keindahan, romantisme, cinta-- mereka semua lah yang membuat kita tetap hidup.
Sejatinya puisi memang tidak akan pernah membeli nasi sesuai dengan stigma dalam persepsi orang-orang kepada yang suka menulis puisi. Tapi saya tahu betul ini hanyalah persoalan sudut pandang yang berbeda dan itu bukanlah masalah.