Lihat ke Halaman Asli

[Best Moment 2016] Napas Panjang

Diperbarui: 15 Januari 2017   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tahun 2016 adalah tahun perjuangan. Selamat berjuang, Sahabat. Tidak ada perjuangan yang tak setimpal dengan hasil." Pada pertengahan bulan Oktober, Aku membaca ulang status Fanspage, yang kutulis tepat ditanggal 01 Januari 2016. Saat dahulu menulis status tersebut, aku tak pernah menyangka, jika dua bulan kemudian aku harus berjuang mencari perkejaan lain.

***

"Hufffffff..."
Aku meniup napas panjang dan berharap, kapan aku bisa dapat pekerjaan? Sudah hampir delapan bulan aku menganggur. Sementara, aku mempunyai tiga tanggungan yang harus kujawab lewat bukti nyata. Pertama nafkah hidupku sendiri, kedua nafkah keluarga kecilku, ketiga nafkah untuk ibuku.
"Mas, gimana yaa, tabungan kita udah habis. Untuk makan hari ini aja kita udah nggak ada. Kamu tahu kan, kalau aku paling anti berhutang," ucap istriku, menyenderkan badan ke tembok ruang tamu. Aku menengok dan melihat kristal cair mengalir di pinggiran pipi kanannya. Dadaku bagai terhunus belati yang tak tampak.
"Maafin aku, yaa," hanya itulah yang bisa terucap dari bibirku, dengan lidah yang terasa berat dan juga kaku.

'Kekuatan'. Hanya sisa-sisa kekuatan yang kami miliki, setelah berusaha semaksimal mungkin mencari uang untuk bertahan hidup. Aku tidak mungkin menggugat pada salah satu anggota keluarga yang telah merampas semua tabungan kami. Bahkan untuk bercerita pada orang lain pun kami tak sanggup. Tak sanggup karena hanya akan menjelekkan keluargaku sendiri, dan secara otomatis juga akan menjelekkan diriku sendiri. Yang pasti, semuanya sudah terjadi seperti ini. Di mulai dari pemberhentian aku bekerja, kedatangan seseorang yang menipu keluarga kami, sampai kegagalan demi kegagalan dari semua upaya yang kami lakukan.

Istriku berdiri dan mendekat ke arah buffet, "cuma ini yang kita punya," ujarnya seraya memperlihatkan sebuah celengan besar berbentuk ayam. Aku hanya menunduk dengan perasaan putus asa.
"Jangan dipecahin..., Kamu lubangi aja bawahnya," pintanya sambil meletakkan celengan besar berbahan tanah liat itu.
Aku mengambil paku besar, kemudian melubangi bagian bawahnya. Tampaklah sebuah lembaran berwarna hijau senilai duapuluh ribu rupiah yang terjepit di antara dua jariku.

Adzan isya berkumandang keras lagi bersahut-sahutan. Mengiringi sepasang suami istri yang sedang duduk berdampingan. Sang suami sibuk mengeluarkan sesuatu, kemudian meletakkan di depannya. Sedang sang istri sibuk menghitung berapa banyak lembaran berharga yang ada di depannya.

***

'Tentang perjuangan, sejarah akan terukir. Tentang sejarah, perjuangan juga akan terukir'. Novel Aradhea Bab 8.

Ini adalah kisah nyata penulisnya.
Kisah ini dibuat untuk memeriahkan event yang diadakan Fiksiana Community.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline