Lihat ke Halaman Asli

[Fiksi Kuliner] Hakikat Bubur Merah-putih

Diperbarui: 6 Juni 2016   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Event Kuliner

Rudie Chakil, 48

Dengan sarung keris, Panglima perang itu mengikat ususnya yang terurai keluar. Setelah sebelumnya terkena sayatan pusaka nan tajam pada perutnya. Ia hendak membalas dengan mencabut keris dari sarungnya. Tapi naas, ujung ususnya menyentuh sisi tajam pada kerisnya sendiri.

***

Sudah empatpuluh hari aku melihat anugerah nyata yang diberikan Tuhan pada keluarga kecilku. Karena tepat di hari ini, anakku sudah berusia satu bulan lebih sepuluh hari.
"Le..., Kamu saja yang masak sendiri bubur merah-putihnya," ucap Kakekku. Pagi hari kami berbincang sekeluarga untuk acara syukuran potong rambut anakku. Sebuah acara kecil yang hanya membagi-bagikan bubur merah-putih pada kerabat dan tetangga dekat rumah.
"Iya, iya, Mbah," jawabku pada kakek yang sudah berambut putih.

Sore hari ketika acara pemotongan rambut anakku sudah selesai, aku bertanya pada ibuku tentang bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat bubur merah-putih. Aku membeli semua, kemudian memasaknya sendiri sesuai dengan perintah kakekku.

"Kamu melakukan acara syukuran seperti ini, kira-kira paham gak hakikatnya itu apa?" tanya kakekku setelah masuk ke ruang dapur.
"Nggak, Mbah," jawabku sambil mengaduk-aduk nasi di dalam panci.
"Kalau kamu nggak paham, buat apa kamu melakukan?" kakek menatap dalam padaku, dan sesekali melirik pada bahan yang sedang dimasak.
"Hehe, ini kan sudah tradisi, Mbah," jawabku lagi, sekenanya.
"Iya, Tradisi. Tapi kalau kamu tahu artinya kan, lebih bagus," balas orangtua berkemeja batik itu.
"Iya, Mbah, memang artinya bubur merah-putih itu apa yaa, Mbah?" tanyaku.

Kakek duduk di kursi dapur.

"Dahulu di tanah jawa, saat agama islam sudah mulai tersebar dan berkembang. Terjadilah peperangan yang melibatkan dua kubu besar. Kubu itu adalah kaum putihan. Yaitu kaum agamis yang menginginkan kursi kepemimpinan negara ini. Mereka hendak mendirikan sebuah khilafah, atau pemerintahan islamiah di pulau jawa ini. Dan yang satu lagi adalah kaum abangan. Yaitu kaum agamis yang hidup dengan damai tanpa mengurusi dunia politik dan pemerintahan masa itu.

Karena ada profokator di antara kedua pihak, maka terjadilah perang besar. Meskipun keduanya berasal dari agama yang sama, yakni agama islam." Tutur Kakek, menilik dalam padaku yang sedang berdiri di samping kompor.

"Perang itu banyak memakan korban, dan baru selesai saat Pangeran Aryo Penangsang, yang menjadi raja bagi kaum putihan, terbunuh oleh Pangeran Sutowijoyo, yang menjadi raja bagi kaum abangan." Kakek berdiri, dan mengambil alih pekerjaanku. Mengaduk nasi yang hampir menjadi bubur.

"Kanjeng sunan Kalijogo kemudian mengenang kisah itu dengan membuat bubur merah-putih. Dengan harapan, agar pada masa yang akan datang, para pemegang tumpuk pemerintahan tidak lagi memakai nafsu untuk menguasai. Juga tidak ada lagi yang namanya korban jiwa, karena satu hal yang dianggapnya benar." Kakek kembali duduk, lalu melanjutkan ceritanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline