Perkenalan pertamaku dengan Pak Tjiptadinata Effendi adalah saat acara Kompasianival, tepatnya 21 desember 2015. Kala itu aku sama sekali belum mengenal, sosok Pak Tjiptadinata Effendi itu siapa dan bagaimana. Maklumlah, aku adalah Kompasianer pemula, yang baru bergabung pada desember 2015.
Jadi Mungkin, bilamana sebagian besar warga Kompasiana dari penulis sampai pembaca itu kenal dengan Pak Tjiptadinata Effendi lewat dunia maya lebih dahulu. Maka aku adalah sebaliknya. Aku justru lebih dulu berkenalan dengan wujud aslinya yang selalu tersenyum, kemudian baru tahu setelahnya, bahwa dia bernama Tjiptadinata Effendi.
Ceritanya ketika itu seorang kakek berkulit putih berbadan gemuk datang ke booth grup RTC, tempat aku menjaga booth selama acara kompasianival berlangsung. Aku memberikan padanya satu eksemplar novelku. Lelaki tua berkemeja batik itu pun kemudian mengambil sebuah buku berjudul 'Sehangat Matahari Pagi', dan memberikannya padaku.
Sampai di rumah, aku membaca buku tersebut dan mulai merasa heran, karena isi di dalam buku tersebut ada beberapa bagian yang menjadi dorongan besar, untuk lebih memahami sosok yang diceritakan. Tak lain dan tak bukan adalah Pak Tjiptadinata Effendi sendiri.
Akhirnya aku membaca sebagian besar tulisan Beliau di Kompasiana.
Gila... ini sungguh gila...
Apabila kamu mencari seorang penulis, yang benar-benar menulis dari hati. Maka, cobalah membaca tulisan Pak Tjiptadinata Effendi di Kompasiana.
Hampir semua yang ditulis olehnya adalah, sebuah dorongan besar untuk orang yang membacanya, agar lebih kuat dalam mengarungi lautan hidup dan kehidupan.
Tulisan Pak Tjip tidak semata berasal dari olah pikir dan keilmuan yang dimilikinya saja. Namun berasal dari sebuah 'jeritan histeris' yang pernah ia rasakan bertahun-tahun sebelumnya.
Bagaimana tidak? Dahulu Beliau sekeluarga untuk makan saja terasa sulit.
Bagaimanakah rasanya? Apabila buah hati kita sedang sakit, namun kita tidak mampu membelikan obat untuknya?
Bagaimana rasa shock yang seringkali ia terima ketika dizholimi oleh oranglain. Bagaimana sebuah kegagalan tidak melepaskan cengkraman eratnya pada waktu yang lama. Bahkan Bagaimana sesaknya atmosfir di dalam penjara, sudah Beliau rasakan.