Dalam dunia kerja, bisnis, sosial bahkan keluarga dan spiritual kita kerap diperhadapkan pada orang-orang yang menantang diri kita untuk menampilkan hasil kerja yang terbaik. Orang-orang tersebut hadir dalam banyak rupa, tapi sadar atau tidak sadar dengan satu misi yaitu “menantang” (to challenge, istilah Inggris ini lebih menampilkan maksud yang sesungguhnya dari kata “menantang”) kita untuk melihat apa yang kita kerjakan dari sudut pandang yang lain. Sayangnya mengingat kehadirannya yang sering “berseberangan” dengan sudut pandang kita, kita sering menyebut mereka sebagai “orang-orang sulit”, tidak sepaham/sealiran dengan kita. Hubungan pun jadi terganggu, seolah kita memiliki penghalang yang sulit dilewati atau membutuhkan effort yang besar untuk menghadapinya.
Terdengar tidak enak di telinga sehingga muncul upaya untuk membungkus (reframing) istilah “orang-orang sulit” agar benar-benar menantang kita untuk lebih baik, dan tidak menjadi hambatan yang justru melemahkan kita. Salah satunya adalah ungkapan bahwa sebenarnya tidak ada “orang-orang sulit” itu, yang ada adalah orang-orang yang berbeda dengan kita.” Persoalan baru muncul, apakah orang-orang sulit itu benar-benar ada atau tidak? Apakah kehadirannya untuk menguatkan kita atau melemahkan kita? Sekalipun ada, bagaimana kita menghadapi fenomena orang-orang sulit?
Menghadapi fenomena di atas, sekurang-kurangnya ada 3 tips atau tekhnik bagaimana kita sebaiknya berhubungan dengan orang-orang yang kita anggap sulit. Namun sebelum itu, baiklah kita memahami bahwasanya ada 3 perbedaan yang dengan memahaminya kita dapat dengan mudah menggolongkanjenis-jenis orang sulit. Dengan mengenali perbedaan dan penggolongan tipe orang-orang sulit itu, kita akan lebih mudah mengambil sikap yang tepat ketika berhadapan dengan orang-orang tersebut. Nah, apakah perbedaan dan bagaimana penggolongan yang dimaksud?
Perbedaan pertama terletak pada intensi/maksud/agenda pribadi masing-masing orang. Agenda pribadi masing-masing orang memang rawan menimbulkan perbedaan kepentingan sebagai cikal bakal konflik. Akhirnya kesulitan muncul dalam hubungan interpersonal tersebut. Perbedaan kedua adalah perilaku. Tindakan yang muncul dari keputusan bebas yang muncul dari pikiran dan perasaan yang sangat unik ini juga menimbulkan perbedaan perilaku orang-orang yang terkadang tidak dimengerti oleh satu sama lain. “Aneh, kok tingkah lakunya seperti itu ya?”Akhirnya orang mulai saling melabel satu sama lain sebagai orang sulit. Perbedaan ketiga adalah gaya berkomunikasi seseorang. Cara orang berbicara, entah secara verbal maupun non verbal, tidak ada yang sama satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini melahirkan perbedaan baru, yaitu bagaimana orang menginterpretasikan satu hal yang sama. Padahal “the map is not the territory”, bahwa interpretasi (persepsi) kita unik dan tidak sama dengan realitas, apalagi dengan persepsi orang-orang lain.
Secara langsung maupun tak langsung, semua itu berdampak pada pekerjaan kita, bahkan emosi kita. Dampak yang paling jelas adalah terjadinya miskomunikasi antara karyawan, kompetisi yang tak sehat, penjilat malah mendapatkan reward, kita mudah demotivasi, suasana hati selalu tak baik.Semuanya akan mengacaukan kerja dan kehidupan kita.
Nah, kalau kita dengan jeli memperhatikan munculnya perbedaan dan penggolongan “orang-orang sulit” yang semuanya serba subyektif, kita melihat bahwa orang-orang sulit itu sebenarnya “fenomena” (phenomenon: gejala, bukan neumenon: realita). Itulah sebabnya ketika kita menganggap seseorang sulit, bukan tak mungkin orang sulit tersebut akan mengira kita juga sebagai orang sulit. Lantas, siapa sebenarnya orang sulit itu? Kalau mereka itu sekedar fenomena, apa realitasnya?
Secara umum perbedaan-perbedaan di atas menciptakan 4 kelompok “orang-orang sulit”, yaitu kelompok penyerang (the aggressors), kelompok pengecut (the cowards), kelompok cuek (the back benchers) dan kelompok emosional (the emo). Masing-masing kelompok ini memiliki motif yang berbeda-beda, tingkah laku dan cara berkomunikasinya. Menurut Anda, apa motif yang tersirat sampai mereka berperilaku demikian dan apa yang kurang dari gaya berkomunikasi mereka? Yang jelas mereka adalah orang-orang yang berpikiran negatif, pesimis, pasive, defensif tapi suka menyerang, reaktif. Secara ringkas sebagian dapat saya katakan bahwa mereka tentunya akan menguras energi kita bahkan akan membuang waktu kita ketika kita melayaninya tanpa arah dan tekhnik komunikasi yang jelas. Tentunya ada banyak cara taktis untuk mengajak mereka bekerja sama, bukan sebaliknya memaksa mereka untuk mengikuti arahan kita. Bagaimanakah itu?
Masih ingat dengan “reframing” terhadap orang-orang sulit yang saya sebutkan di atas? Orang-orang itu sebenarnya tidaklah sulit, mereka hanya berbeda dengan kita! Kita tak dapat mengubah mereka, tapi kita dapat mengubah cara kita bereaksi terhadap mereka. Kunci sukses komunikasi kita dengan orang-orang tersebut terletak pada akutabilitas yang total terhadap komunikasi kita. Nah, kesadaran dan pengertian ini bisa menjadi prinsip dasar bagi kita untuk menghadapi orang-orang yang sering kita anggap sulit.
Pertama, Bersikaplah fleksibel. Tak ada orang sulit, kita hanya belum mencoba pendekatan yang lebih fleksibel untuk menghadapi orang tersebut. Ingat kita tak dapat mengubah mereka, kecuali cara kita bereaksi terhadapnya. Kedua, pisahkanlah orang dari perilakunya. Jangan mudah melabel orang dengan prilakunya, karena orang sesungguhnya lebih “kaya” dibanding kata-kata maupun tingkah lakunya. Prinsip ini membuat kita lebih mudah hormat terhadap orang yang berbeda atau berseberangan dengan kita. Ketiga, ambil alih kendali Anda sendiri. Jangan sampai kita (sistem dan komunikasi diri maupun organisasi) dikendalikan oleh perbedaan-perbedaan yang wajar tersebut. Sebaiknya perbedaan yang unik itu semakin memperkaya dan memperkuat sistem komunikasi yang sudah ada.
Di dalam diri kita banyak tersimpan kekayaan untuk membangun hubungan yang sehat dan saling menghidupkan satu sama lain. Segala sesuatu yang membuat kita berpikir bahwa orang lain sulit justru dapat menghantar kita pada pemahaman yang dalam mengenai diri kita sendiri. So, bersyukurlah dengan keunikan dan perbedaan yang terjadi. Dan fokuslah pada keunikan yang saling memperkaya hubungan itu bukan terutama pada perbedaan-perbedaan yang ada.
Rudi Tamrin
penulis buku JALAN KELUAR "the art of self management to Hexagonalife Balance"
Sumber: MWS International dan refleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H