Lihat ke Halaman Asli

Rudi Sinaba

Advokat - Jurnalis

Maka Langit pun Menangis

Diperbarui: 11 Desember 2024   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

When the sky is crying (Peakpx)

Maka Langit pun Menangis

Di hutan rimbun yang dulu megah,
Kapak-kapak tajam meluluh lantah,
Hawa panas menusuk kulit manusia dengan gundah,
Maka menangislah langit.

Sungai mengalir tak lagi jernih,
Penuh racun, hitam, tak lagi bening,
Air membawa penyakit, tubuh manusia pun ringkih,
Maka menangislah langit.

Manusia tamak menggali perut bumi,
Menguras emas, mengangkut mimpi,
Tanah longsor menghantam desa tanpa ampun lagi,
Maka menangislah langit.

Laut yang biru berubah muram,
Tumpahan minyak menjadi haram,
Nelayan kehilangan hidup, di pantai mereka diam,
Maka menangislah langit.

Asap mengepul di pabrik-pabrik besar,
Udara tercemar, nafas terasa sukar,
Penyakit paru-paru menjangkiti kota tanpa sadar,
Maka menangislah langit.

Gunung yang gagah dihancurkan rakus,
Dari tanah tersisa puing nan putus,
Debu menyesakkan, manusia hidup dalam duka tak pupus,
Maka menangislah langit.

Kota-kota tumbuh serakah dan megah,
Mengusir sawah, mematikan ladang basah,
Harga pangan melonjak, perut rakyat menjadi lelah,
Maka menangislah langit.

Orang kaya berpesta di atas derita,
Sementara rakyat lapar tak bersisa,
Kemarahan membuncah, kekacauan tak lagi bisa reda,
Maka menangislah langit.

Hutan terbakar oleh keserakahan,
Flora fauna terhapus dari kehidupan,
Kabut asap membuat mata manusia menangis dalam kehancuran,
Maka menangislah langit.

Plastik berserakan di mana-mana,
Laut menjadi penjara, tak ada surga,
Perut manusia keracunan dari ikan yang tercemar noda,
Maka menangislah langit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline