Ketika Mentari Membeku
Ketika mentari membeku di ufuk timur,
Cahayanya terdiam, tak lagi mengusir duri suram,
Langit kelabu, sunyi tak beraturan,
Seakan waktu berhenti di tepi malam.
Pepohonan tak bergoyang,
Angin tertahan di sudut ruang,
Suara burung lenyap dari padang,
Hanya sepi yang terus membayang.
Dunia terasa tak berwarna,
Gelap membungkus tanpa suara,
Panas sirna, menggigil jiwa,
Beku menjalar, memeluk asa.
Kemana hilang api semangat pagi?
Saat sinar mentari tak lagi berlari,
Mengapa dunia terasa asing lagi?
Adakah jawab di sudut misteri?
Jalan setapak penuh kristal es,
Langkah berat tertahan desis,
Dingin menusuk hingga ke relung,
Raga terdiam dalam kedinginan yang agung.
Namun jauh di hati yang redup,
Ada bara kecil, tak ikut lenyap,
Menunggu waktu, mencari celah,
Menghidupkan harap yang hampir punah.
Beku ini tak selamanya,
Bisikkan hati dengan penuh makna,
Mentari tak mati, hanya menepi,
Kelak ia kembali memeluk bumi.
Setiap embun beku yang menyelimuti daun,
Adalah jeda dari siklus kehidupan,
Setiap dingin yang menggigit di malam kelam,
Adalah penantian akan hangatnya pelukan alam.
Di sudut senja, kulihat remang cahaya,
Bayang mentari mulai kembali berbicara,
Menyapa bumi, membangkitkan rasa,
Beku pun mencair, mengalirkan cerita.
Langit perlahan berubah warna,
Dari kelabu menuju jingga,
Harapan pun tumbuh, meronta,
Menghancurkan dingin yang tak berdaya.