Secarik Kertas Lusuh dan Pena Tua
Di sudut meja yang penuh debu,
Terbaring kertas lusuh yang tak lagi baru,
Bersama pena tua yang hampir kaku,
Mereka menunggu, dalam bisu.
Kertas lusuh penuh goresan waktu,
Pena tua, saksi perjalanan pilu,
Dulu menari, kini lesu,
Namun tetap setia, tak pernah jemu.
Tinta yang pudar, cerita yang usang,
Tentang cinta, perang, dan dendang,
Semua tersimpan dalam gulungan kenang,
Meski kini jarang dipegang.
Pena tua mengeluh pelan,
Tulangnya berkarat, hampir kehilangan,
Namun kertas lusuh tetap bertahan,
Memeluk cerita dalam keheningan.
Mereka bicara dalam bahasa sunyi,
Tentang mimpi-mimpi yang pernah tinggi,
Tentang tangan yang dulu penuh energi,
Kini redup, terhenti di tepi.
Kertas lusuh mengingat dengan pedih,
Saat pena tua masih indah dan gagah,
Bersama mereka menggubah bait-bait meriah,
Kini tinggal serpih-serpih yang rapuh dan pasrah.
Namun waktu tak mampu memadamkan,
Semangat tinta yang tetap berpegang,
Pada kisah yang terus dikenang,
Hingga akhir, walau perlahan hilang.
Kertas lusuh dan pena tua,
Adalah cerita tentang cinta yang abadi,
Antara jiwa yang pernah menjadi saksi,
Tentang hidup, meski tak lagi berseri.
Mereka tahu betapa singkat masa,
Namun tetap setia pada kisah lama,
Yang tertulis dengan darah dan rasa,
Meski dunia tak lagi peduli pada mereka.
Di dalam sobekan, ada jejak sejarah,
Tentang tangan yang dulu gemetar lelah,
Menulis harapan di tengah marah,
Kini tinggal jejak tinta yang pasrah.