Secangkir Kopi Pahit Pengusir Bayangmu
Secangkir kopi pahit, teman sunyi malam,
Bergelimang rasa yang tak terucap,
Mengalir di lidah, tak menyisakan manis,
Seperti kenangan yang hilang di antara desah.
Aku menatap gelas ini,
Di baliknya, bayangmu menari,
Seperti kilasan yang tak bisa kubendung,
Mengisi ruang kosong, tanpa izin.
Kopi ini tak bisa memadamkan cahayamu,
Meskipun pahit, ia berusaha keras,
Seperti aku, yang berjuang melupakan,
Setiap jejakmu yang tertinggal di hatiku.
Setiap teguknya membawa dingin,
Namun hatiku tetap panas,
Membakar kenangan yang tertinggal,
Tentangmu, tentang kita, yang pernah ada.
Aku tak ingin lagi terjerat dalam ingatan,
Tapi secangkir kopi ini terus membawaku,
Ke masa-masa yang tak ingin kuingat,
Dimana bayangmu selalu hadir tanpa permisi.
Malam ini, aku berusaha menenangkan diri,
Menghirup aroma kopi yang pekat,
Mencoba untuk menerima kenyataan,
Bahwa kita sudah bukan lagi bagian dari takdir yang sama.
Kopi ini, seperti perasaan yang tertinggal,
Pahit dan kelam, namun tak bisa kutinggalkan,
Setiap seruputnya seolah mengingatkan,
Betapa aku masih terikat oleh bayangmu.
Mungkinkah aku bisa melupakan?
Atau adakah bayangmu selalu menjadi bagian,
Dari secangkir kopi yang kuteguk?
Sebuah kenyataan yang tak bisa kutolak.
Kau pergi, tapi bayangmu tetap tinggal,
Menemani setiap pagi dan malamku,
Tak bisa kuhapus, tak bisa kutahan,
Seperti ampas kopi yang mengendap di dasar cangkir.
Aku berharap secangkir kopi ini,
Bisa menghapusmu dari pikiranku,
Tapi ia hanya menambah rasa rindu,
Yang seharusnya sudah lenyap, tertinggal jauh.