Surabaya Hari Ini, 79 Tahun yang Lalu79 tahun lalu, tepat pada 10 November 1945, Surabaya menjadi saksi sebuah pertempuran besar yang mengguncang dunia. Kota ini berubah menjadi medan laga, tempat di mana suara ledakan dan tembakan menggantikan kicau burung. Aroma mesiu memenuhi udara, darah membasahi jalanan, dan pekik merdeka menggema di setiap sudut kota. Tidak ada yang luput dari perang, dari pemuda hingga kaum tua, semua turun ke jalan, memanggul senjata seadanya untuk mempertahankan kehormatan bangsa.
Para pemuda Surabaya yang baru saja menghirup udara kemerdekaan, tak gentar menghadapi ancaman tentara Inggris dan NICA yang datang kembali untuk menegaskan kuasa kolonial. Mereka tak mengenal takut. Dengan semangat juang membara, mereka berdiri tegap melawan tank dan senapan mesin hanya dengan bambu runcing dan senjata sisa Perang Dunia II. Di bawah pimpinan Bung Tomo, suara takbir dan sorak "Merdeka atau Mati!" bergema seakan menjadi mantra yang mengobarkan jiwa-jiwa para pejuang.
Tak terhitung banyaknya tubuh bergelimpangan di jalan-jalan, selokan, dan gang-gang sempit. Tubuh-tubuh yang terbaring itu bukan hanya sekadar mayat, melainkan simbol perlawanan tanpa pamrih. Setiap tetes darah yang mengalir membasahi tanah Surabaya adalah bukti cinta mereka pada ibu pertiwi. Tak ada tangisan penyesalan di mata mereka, hanya senyum penuh kebanggaan karena telah menunaikan tugas mulia mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Mereka mengerti, kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hak yang harus diperjuangkan dengan darah dan nyawa.
Wajah-wajah pemuda yang terjatuh di medan pertempuran tampak tenang. Mereka bukan hanya sekadar bertempur untuk hari itu, tetapi untuk masa depan bangsa. Mereka ingin memastikan bahwa anak cucu mereka, kita yang hidup hari ini, bisa menikmati kebebasan yang telah mereka perjuangkan. Mereka adalah generasi yang berani, tak takut mati, dan tak meminta bayaran apa pun. Hanya satu yang mereka inginkan, sebuah bangsa yang merdeka dan bebas dari penindasan.
Surabaya kala itu menjadi medan pertempuran besar yang memakan banyak korban. Bayangkan, tubuh-tubuh mereka yang tergeletak tanpa nyawa, menumpuk di sepanjang jalan raya dan selokan kota. Bagi mereka, mengorbankan nyawa adalah sebuah kehormatan. Demi kemerdekaan, mereka tak segan-segan menghadapi musuh yang jauh lebih kuat dan lebih lengkap persenjataannya. Mereka rela menjadi martir di jalan-jalan kota, meninggalkan segala kenyamanan demi tugas mulia yang mereka yakini.
Hari ini, kita berjalan di trotoar yang sama, melewati bangunan yang sama, tetapi dengan keadaan yang jauh berbeda. Kemerdekaan yang kita nikmati adalah hasil dari pengorbanan mereka. Namun, apa yang telah kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan ini? Apakah kita telah memenuhi tanggung jawab kita seperti yang dilakukan oleh para pejuang? Mereka bertaruh nyawa, sementara kita hanya dituntut untuk memberikan waktu, tenaga, dan pikiran. Namun, apakah kita telah melakukannya dengan tulus dan ikhlas?
Sayangnya, banyak dari kita yang telah melupakan sejarah. Kita menikmati hasil perjuangan tanpa memikirkan bagaimana darah dan nyawa telah menjadi hutang yang belum kita lunasi. Kita menikmati kekayaan alam negeri ini, tetapi justru kita merusaknya dengan keserakahan. Kita menyalahgunakan kekuasaan, mengeruk keuntungan pribadi dari tanah yang dulu dipertahankan dengan darah dan air mata para pejuang. Kita korupsi, bahkan dengan gaji yang besar dari uang rakyat. Kita mencari kesenangan semu dengan narkotika, seakan lupa bahwa ini adalah tanah yang dibasahi darah para pahlawan.
Surabaya hari ini mungkin lebih modern, lebih maju, namun apakah jiwa para pemudanya masih sama? Apakah semangat juang dan cinta pada tanah air masih ada? Kita tidak dituntut untuk mencurahkan darah atau mengorbankan nyawa seperti para pejuang dulu. Hanya waktu, tenaga, dan pikiran kita yang diharapkan untuk mengisi kemerdekaan. Namun, alih-alih memajukan bangsa, banyak dari kita justru terjebak dalam kesenangan sesaat dan kerakusan.
79 tahun telah berlalu sejak pertempuran itu. Para pahlawan yang telah gugur kini hanya menjadi nama yang terukir di tugu-tugu peringatan. Namun, semangat mereka seharusnya tetap hidup dalam setiap tindakan kita. Mereka tidak meminta penghormatan, tidak meminta hadiah, hanya satu yang mereka inginkan: sebuah bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Tetapi, apakah kita telah mewujudkan harapan mereka? Atau justru kita mengkhianati perjuangan mereka dengan merusak dan menggerogoti negeri ini dari dalam?
Waktu terus berjalan, namun kenangan akan pertempuran Surabaya tak akan pernah hilang dari ingatan sejarah bangsa. Saat kita melangkah di jalanan Surabaya, ingatlah bahwa di bawah kaki kita, tanah ini pernah basah oleh darah para pahlawan. Mereka yang tak pernah meminta pamrih, yang tak pernah berharap balasan, kini hanya berharap kita dapat melanjutkan perjuangan mereka dengan cara yang berbeda: menjaga dan membangun negeri ini dengan jujur dan ikhlas.
Marilah kita renungkan, apa yang bisa kita berikan untuk negeri ini? Kita tidak perlu berperang melawan penjajah dengan senjata. Musuh kita sekarang bukan lagi pasukan bersenjata, tetapi ketidakpedulian, korupsi, dan keserakahan. Apakah kita siap menghadapi musuh-musuh baru ini? Apakah kita berani melawan kejahatan yang merongrong bangsa kita dari dalam?