Lihat ke Halaman Asli

Rudi Sinaba

Advokat - Jurnalis

Niccolo Machiavelli, Jengis Khan, dan Julius Caesar dalam Diskusi Imajiner tentang Kekuasaan

Diperbarui: 7 November 2024   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Infonews

Lokasi: Sebuah kedai kopi antik di pusat Florence, dengan interior khas Italia abad ke-16.

Machiavelli: (menghirup kopinya sambil melihat tamunya) Jadi, apa kabar, para pria kekuasaan? Sungguh sebuah kehormatan untuk duduk bersama dua legenda. Julius, Jengis, kita di sini untuk satu alasan: berbicara tentang kekuasaan. (tersenyum tajam) Mari kita mulai dari pertanyaan dasar. Menurut kalian, apa yang paling penting dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan?

Julius Caesar: (membetulkan toga) Nik, menurutku, yang paling penting adalah mendapatkan kepercayaan rakyat. Aku bukan siapa-siapa tanpa dukungan mereka. Mereka lah yang membuat aku bisa menyeberangi Rubicon dan menguasai Roma.

Jengis Khan: (tertawa keras) Rakyat? Ha! Aku tidak pernah meminta kepercayaan rakyat, Caesar. Aku hanya punya satu prinsip: taklukkan atau binasa. Bangsaku kuat karena kami tak kenal takut. Kami tidak bergantung pada siapa pun, aku menyatukan suku-suku dan kemudian memperluas kekuasaan dengan… yah, sedikit persuasi brutal.

Machiavelli: (tersenyum sinis) Menarik sekali, Jengis. Metode "persuasi brutal" memang efektif... untuk sementara. Tapi, kamu tidak khawatir? Jika rakyatmu takut padamu, lalu siapa yang bisa kau percaya?

Jengis Khan: (mengangkat bahu) Aku tidak butuh kepercayaan. Ketakutan sudah cukup. Kalau ada yang berani mengkhianatiku, mereka tahu nasib mereka—pengkhianatan jarang terjadi ketika kau jelas soal hukuman.

Julius Caesar: (tertawa) Yah, ada benarnya, Jengis. Tapi aku masih berpikir bahwa memerintah melalui kepercayaan dan karisma lebih bijak. Aku berusaha memanipulasi emosi rakyatku dengan hati-hati. Kau tahu, Machiavelli, dalam pertempuran, aku menang bukan hanya dengan kekuatan, tapi juga dengan kebijaksanaan. Dengan begitu, aku punya banyak pendukung yang loyal, bahkan saat aku menyatakan diri sebagai diktator seumur hidup.

Machiavelli: (mengangguk setuju) Caesar, aku melihat metode itu dalam karyamu. Tapi aku khawatir itu tidak selalu berakhir baik, bukan? Kau tahu, teman, mengandalkan cinta rakyatmu terkadang berbahaya. Ketika mereka cinta, mereka setia... sampai ada yang lebih menarik hati mereka. Nah, itulah mengapa aku menyarankan para penguasa untuk lebih baik ditakuti daripada dicintai—seandainya mereka tak bisa mendapatkan keduanya.

Jengis Khan: (mengangguk dengan tegas) Benar, itu sebabnya aku tidak peduli soal cinta atau kebijaksanaan, seperti kalian sebut. Lihat saja, aku menaklukkan hampir setengah dunia tanpa basa-basi. Dengan pedang dan kuda. Aku tidak peduli dengan kasih sayang rakyatku. Bagiku, kekuasaan bukan soal rasa, tapi soal kendali total. Bukankah kekuasaan sejati itu menguasai tanpa syarat?

Julius Caesar: (berpikir sejenak) Tapi Jengis, bukankah kau punya musuh di sepanjang perjalanan itu? Kau tidak bisa benar-benar menaklukkan hati mereka, dan akhirnya, beberapa dari mereka mungkin melawanmu dalam diam.

Machiavelli: Justru di situlah intinya, Caesar. Kalian berdua benar dalam caranya masing-masing. Jengis dengan kekuatan total, Caesar dengan popularitas... Namun, kekuasaan sejati itu seperti seni: harus seimbang. Itu sebabnya aku selalu katakan dalam bukuku Il Principe bahwa seorang penguasa harus "lincah seperti rubah dan kuat seperti singa." Kadang menakutkan, kadang memesona, dan yang paling penting, harus cerdik!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline