namun jiwaku terperangkap beku.
Bukan embun yang jatuh,
bukan bayang senja yang lembut,
melainkan sepi yang menyelinap,
menusuk sela-sela pori rindu.
Di tengah keramaian yang riuh,
detik-detik berderak membisu,
waktu seakan berbelok malu,
meninggalkan panas, menyisakan kelu.
Dingin yang tak kenal cuaca,
menggugah tanya dalam dada,
apakah hangat hanya cerita,
atau rasa yang menghilang di balik wajah tanpa suara?
Dingin di siang bolong,
adalah rasa,
adalah luka,
yang tak tampak, namun nyata.
Dingin di siang bolong,
bagai bayangan yang menari,
mengejar, lalu menghilang,
meninggalkan kesan yang tak pernah pergi.
Kucoba mencari sisa hangat,
di sela-sela senyum yang terpecah,
tapi angin itu datang lagi,
menarik diri ke pusara sunyi.
Lalu di langit, awan bergerak malas,
mengukir mimpi yang tersisa,
sementara mataku mencari cahaya,
yang kini redup di cakrawala.
Jika dingin ini punya suara,
mungkin ia akan bernyanyi,
tentang rindu yang tertahan,
tentang jiwa yang mendamba damai.
Namun, di siang yang diam,
aku berdiri,
memandang jauh tanpa berkedip,
membiarkan dingin ini menjadi saksi,
bahwa ada rasa yang lebih beku dari es,
dan itu adalah sepi yang merasuk tanpa ampun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H