Lihat ke Halaman Asli

Rudi Sinaba

Advokat - Jurnalis

Sepakat Untuk Tidak Sepakat : Cara Praktis Menghargai Perbedaan

Diperbarui: 3 November 2024   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Infonews

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan situasi di mana pendapat kita berbeda dengan orang lain---dari topik sederhana seperti selera musik hingga isu kompleks tentang politik dan moralitas. Mungkin Anda pernah berada dalam percakapan yang memanas dan akhirnya merasa buntu, di mana tidak ada pihak yang mau mengalah atau setuju. Di sinilah muncul konsep "sepakat untuk tidak sepakat," sebuah frasa yang tampaknya sederhana tetapi penuh dengan makna mendalam. Ungkapan ini bukan sekadar kompromi, melainkan wujud dari kebijaksanaan yang mengakui bahwa ketidaksetujuan tidak harus berakhir dengan perpecahan.

Dalam dunia yang semakin terhubung namun sering terpecah belah oleh perbedaan, memahami dan menerapkan "sepakat untuk tidak sepakat" bisa menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan, baik di tingkat pribadi, sosial, maupun profesional. Bagaimana kita bisa menjadikannya sebagai landasan untuk menghormati keberagaman dan mendorong dialog yang lebih produktif? 

Mari kita telaah lebih jauh, hal ini dari berbagai aspek agar sikap ini bisa terpelihara dalam dinamika hidup yang semakin kompleks.

1. Aspek Filosofis

Dari sudut pandang filsafat, ungkapan ini mencerminkan pluralisme kognitif, yaitu pemahaman bahwa kebenaran dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan tidak hanya satu kebenaran tunggal. Filosofi ini mengakui bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memahami realitas secara mutlak. Tokoh-tokoh seperti Karl Popper dan John Stuart Mill menyiratkan bahwa perbedaan opini dan kritik sangat penting untuk memperkaya pemahaman dan mendorong kemajuan pemikiran.

John Stuart Mill, seorang filsuf utilitarian, menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan berbicara dalam bukunya On Liberty. Ia berargumen bahwa perbedaan pendapat sangat penting untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kebenaran, karena dalam perdebatan, elemen kebenaran yang terabaikan dapat muncul.

2. Aspek Psikologis

Dari segi psikologi, "sepakat untuk tidak sepakat" dapat menunjukkan kematangan emosional. Orang yang mampu menerima perbedaan tanpa merasa terancam menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kestabilan emosional yang tinggi. Mereka dapat mengakui bahwa ketidaksetujuan tidak berarti penolakan atau ancaman terhadap identitas diri. Hal ini berkaitan dengan empati, yang memungkinkan seseorang untuk memahami dan menghargai perspektif orang lain meskipun tidak sependapat.

Dr. Carl Rogers, seorang psikolog humanis, berbicara tentang pentingnya "acceptance" atau penerimaan tanpa syarat dalam interaksi manusia. Menurut Rogers, orang yang mampu menerima perbedaan tanpa menilai atau bereaksi negatif menunjukkan kedewasaan dan kepekaan emosional yang lebih tinggi.

3. Aspek Sosial dan Budaya

Dalam konteks sosial, frasa ini mencerminkan pentingnya harmoni dalam masyarakat yang beragam. Dalam budaya yang heterogen seperti Indonesia, "sepakat untuk tidak sepakat" relevan untuk menjaga hubungan antarkelompok yang memiliki latar belakang, nilai, dan keyakinan yang berbeda. Hal ini mendorong masyarakat untuk menghargai perbedaan tanpa menimbulkan konflik, mendukung keberlanjutan dialog yang konstruktif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline