Lihat ke Halaman Asli

Rudi Sinaba

Advokat - Jurnalis

Self-Regulation sebagai Upaya Mereduksi Korupsi Judisial. Oleh : Rudi Sinaba

Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Infonews

Pendahuluan

Kasus korupsi di lingkungan badan peradilan   belakangan ini tidak hanya mencoreng wajah peradilan, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. 

Di tahun ini sebut saja, kasus yang  menjerat HH Sekretaris Mahkamah Agung,  Hakim Agung GS dan terakhir di bulan Oktober 2024 ini kita dikejutkan dengan berita ditangkapnya  ZR  mantan pejabat Mahkamah Agung karena menjadi makelar perkara yang  menjerat 3 hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, masih menghiasi media tanah air. Mirisnya, di rumah ZR Kejaksaan Agung menyita uang hampir 1 triliun rupiah dan emas 51 kg yang diduga hasil praktek makelar perkara oleh ZR selama bertugas sebagai pejabat di Mahkamah Agung sejak tahun 2012 sampai 2022. 

Para pemerhati hukum tentu saja bertanya-tanya perkara apa saja yang pernah dimakelari oleh ZR, jika ini bergulir tentu saja akan menyeret lebih banyak lagi hakim dan pejabat pengadilan,  mengingat ZR mengaku lupa perkara apa saja yang pernah dimakelarinya.

Bagaimana mungkin para hakim yang sudah berikrar di bawah sumpah, memahami hukum, dan menyadari ancaman pidana, tetap tergoda oleh suap? Mengapa pengawasan eksternal, yang selama ini dipercaya mampu mengawasi hakim dan lembaga peradilan, tetap gagal menghalangi mereka dari tindak korupsi? Beberapa ahli menduga bahwa kasus-kasus yang terungkap hanyalah puncak gunung es sebuah gejala bahwa masih banyak kasus lain yang belum terdeteksi.

Di tengah krisis kepercayaan ini, pendekatan pengawasan diri sendiri atau self-regulation muncul sebagai konsep menarik yang layak untuk didalami. Mengawasi diri sendiri, yang lahir dari kesadaran moral individu, berpotensi menjadi benteng terakhir untuk melindungi integritas hakim. Dengan adanya self-regulation, seorang hakim tidak lagi hanya bertindak benar karena diawasi atau takut sanksi, tetapi karena ia memahami bahwa perannya sebagai penegak hukum menuntut komitmen etis yang tinggi. Menurut Aristoteles, tindakan manusia yang benar bukan hanya bergantung pada aturan, melainkan pada karakter baik yang dibentuk dari kebiasaan, etika, dan kebajikan. Pengawasan diri membawa harapan bagi kita untuk menyaksikan kebangkitan kembali peradilan yang benar-benar berintegritas.

Dehumanisasi dan Hilangnya Makna Keadilan

Salah satu alasan penting mengapa self-regulation diperlukan adalah untuk mencegah proses dehumanisasi yang terjadi di kalangan hakim. Dehumanisasi adalah kondisi di mana individu mulai melihat manusia, dalam hal ini para pencari keadilan, bukan lagi sebagai entitas yang memiliki hak dan martabat, tetapi sebagai alat atau sumber penghasilan. Ketika seorang hakim terjebak dalam praktik korupsi, makna keadilan sering kali hilang dan digantikan oleh kepentingan pribadi. Viktor Frankl, seorang psikolog yang mengembangkan teori logo-therapy, menekankan pentingnya manusia menemukan makna dalam setiap aspek hidup, termasuk dalam pekerjaan. Menurutnya, hilangnya makna adalah akar dari kekosongan eksistensial, dan orang yang mengalami kekosongan ini cenderung mencari penggantinya dalam bentuk material atau kepuasan egoistik.

Dengan pengawasan diri, seorang hakim bisa terus mengingatkan diri bahwa ia berperan untuk menegakkan keadilan yang bermakna, bukan untuk keuntungan pribadi. Saat individu menjaga makna luhur dari tugas mereka, risiko dehumanisasi pun berkurang karena mereka melihat pekerjaan mereka bukan sekadar "pemasukan," melainkan tanggung jawab moral yang mengarah pada pemaknaan hidup yang lebih besar.

Gejala "Gunung Es" dan Fenomena "Kurang Beruntung" Dalam Korupsi Judicial

Kenyataan bahwa banyak kasus korupsi hakim yang hanya terungkap karena "kurang beruntung" atau "tidak sengaja" menunjukkan lemahnya efektivitas pengawasan eksternal. Pengawasan semacam ini hanya mengandalkan keberuntungan dalam menemukan pelanggaran, sementara tindakan korupsi lain bisa saja tersembunyi dan tetap berlangsung. Fenomena ini dikenal sebagai "gejala gunung es," di mana hanya sebagian kecil dari masalah yang terlihat di permukaan, sementara sisanya tetap tidak terdeteksi. Dengan kata lain, hanya sebagian kecil tindakan korupsi yang terungkap, sementara yang lainnya mungkin tak terlihat karena keterbatasan pengawasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline