Bayangkan suasana yang megah, dengan panggung klasik yang dihiasi tirai beludru dan lampu-lampu vintage di sekitar ruangan. Hadirin dari berbagai zaman, filsuf, psikolog, dan pemikir besar berkumpul dalam sebuah pertemuan lintas waktu.
Di tengah ruangan, berdiri moderator kita, Carl Jung, mengenakan jas tweed dan membawa kacamata bulat khasnya, siap membuka debat panjang antara Al-Farabi dan Sigmund Freud tentang Tuhan, agama, dan eksistensi.
Jung mengambil mikrofon, berdeham sejenak, dan memulai dengan pembawaan tenang dan sedikit senyum:
Carl Jung:
"Selamat datang, hadirin lintas zaman dan lintas budaya ! Saya, Carl Gustav Jung, seorang psikiater yang sering disalahpahami sebagai eksentrik... atau kadang malah dibilang lebih mistis dari Freud! Tapi hari ini, saya tak akan memanjakan ego saya, karena tugas saya sederhana: menjadi wasit di antara dua pemikir besar ini, pahlawan peradaban, bisa dikatakan. Di sebelah kiri saya, ada sosok yang dikenal dengan pemikirannya tentang akal dan penyebab pertama, Abu Nasr Al-Farabi!"
(Jung memberi gestur dramatis, dan Al-Farabi mengangguk dengan penuh wibawa)
Carl Jung:
"Di sebelah kanan, seseorang yang dikenal suka mengintip ke dalam ketidaksadaran dan membongkar ilusi-ilusi masa kecil kita. Tepuk tangan untuk Sigmund Freud!"
(Freud tersenyum sinis sambil melirik Al-Farabi, lalu memeriksa kumisnya yang rapi)
Carl Jung:
"Baiklah, para tamu kehormatan, mari kita mulai! Saya akan mempersilakan setiap peserta untuk menyampaikan pandangan utama mereka tentang Tuhan dan agama dalam 3 menit, dan mari kita coba untuk saling menghormati... meskipun saya ragu itu mungkin."