Pengakuan hak masyarakat adat merupakan langkah penting yang memiliki berbagai alasan mendasar, baik dari perspektif moral, sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Hak-hak masyarakat adat dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) mencakup berbagai aspek yang penting untuk melindungi dan mempromosikan identitas, budaya, dan hak-hak sosial-ekonomi mereka.
Konsep Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang merupakan bagian penting dari United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), dapat ditinjau dari sudut filsafat dalam beberapa kerangka pemikiran yang mendalam. FPIC, pada dasarnya, adalah hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap proyek-proyek yang akan mempengaruhi wilayah dan sumber daya mereka setelah mendapatkan informasi yang memadai sebelumnya, tanpa tekanan atau manipulasi, dan dengan waktu yang cukup.
1. Filsafat Hak Asasi Manusia
FPIC berakar pada konsep hak asasi manusia, yang dalam filsafat dipahami sebagai hak-hak yang melekat pada setiap individu atau kelompok manusia berdasarkan martabat manusia itu sendiri. Immanuel Kant misalnya, berbicara tentang otonomi individu dan hak untuk mengambil keputusan berdasarkan rasionalitas dan kebebasan, yang sangat sejalan dengan prinsip FPIC. D
Dalam kerangka ini, FPIC mencerminkan penghormatan terhadap otonomi masyarakat adat sebagai entitas yang berhak menentukan nasibnya sendiri. Prinsip ini mendorong pengakuan terhadap martabat dan nilai-nilai budaya masyarakat adat, mengingatkan kita bahwa keputusan yang diambil haruslah berdasarkan konsensus dan partisipasi aktif dari masyarakat tersebut.
2. Filsafat Keadilan Sosial
Filosofi keadilan sosial, seperti yang dikemukakan oleh John Rawls, menekankan pentingnya distribusi yang adil dari sumber daya dan peluang. FPIC berperan penting dalam menciptakan keadilan bagi masyarakat adat yang seringkali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada tanah dan sumber daya mereka. Dalam konteks ini, FPIC bukan hanya tentang persetujuan, tetapi juga tentang memastikan bahwa suara masyarakat adat didengar dan dipertimbangkan dalam proses yang mengarah pada pengambilan keputusan yang adil.
3. Teori Kontrak Sosial
Dari sudut pandang teori kontrak sosial, seperti yang dijelaskan oleh Jean-Jacques Rousseau, FPIC bisa dipahami sebagai dasar legitimasi sosial. Masyarakat adat berhak mengatur hubungan mereka dengan pihak luar (seperti pemerintah dan perusahaan) melalui persetujuan yang diperoleh secara transparan dan adil. Dalam konteks ini, FPIC mencerminkan ide bahwa legitimasi suatu tindakan atau kebijakan harus didasarkan pada persetujuan dari mereka yang terpengaruh, menegaskan pentingnya partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan.
4. Filsafat Eksistensialisme
Dari perspektif eksistensialisme, yang mengedepankan kebebasan individu dan pencarian makna, FPIC mencerminkan hak masyarakat adat untuk menentukan identitas dan keberadaan mereka. FPIC mengakui keberagaman cara hidup dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat, yang sering kali berbeda dari nilai-nilai masyarakat dominan. Dengan memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mengekspresikan dan mempertahankan identitas mereka, FPIC berkontribusi pada pengakuan atas pluralisme budaya dan eksistensi mereka dalam kerangka yang lebih luas.