Saat air matamu jatuh,bumi sejenak terhenti, tersentak. Porosnya tercekik kesedihan,
langit pun menunduk kelabu.
Rintihmu menyayat ruang,
menerobos di antara deru angin,
gunung-gunung merunduk pilu,
hutan menjadi bisu,
tak ada lagi burung bernyanyi.
Bulan tertutup muram,
cahayanya pudar dalam getir malam,
tak sanggup menatap pedih di wajahmu.
Dan angin bahkan enggan berhembus,
terhenti dalam kelelahan menyaksikan
penderitaan yang tak terlukiskan.
Mentari juga tak mampu bersinar,
tersembunyi di balik kabut luka,
terkurung dalam gelap yang enggan pergi,
seolah tunduk pada dukamu.
Setiap detak jantungmu retak,
membelah laut, memecah langit.
Alam terpaku dalam keheningan,
seakan enggan mengalirkan waktu.
Bumi berhenti berputar,
karena tangismu yang abadi,
mengikat segalanya dalam derita
yang tak mampu ditanggung semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H