Anak kecil itu, lugu dan riang,Berlari di antara deru excavator yang mengaum,Tak tahu ia, desa ini sedang digenggam, Dirobek, dicabik, demi ambisi yang tak pernah berhenti.
Ia tertawa, kecil, polos, tak paham, menganggap besi-besi raksasa itu mainan,
Matanya berbinar, menatap dunia tanpa noda,
Tanpa tahu hutan dan kebun itu sekarat di ambang sirna.
Hari berganti, dan ia kembali ke sana,
Namun kali ini, mata kecilnya basah,
Rumahnya lenyap, pohon-pohon tinggal bayang,
Hanya gurun tandus dan debu yang tersisa.
Anak itu akhirnya menangis,
Memanggil rumahnya yang hilang,
Meneriakkan hutan yang tak lagi bernyawa,
Di desa yang kini tak lebih dari reruntuhan.
Tawa itu terhapus oleh air mata,
Saat kenyataan datang dan ia tersadar,
Bahwa tanah ini, dulu rumah dan harapannya,
Kini hanya ilusi, dikorbankan atas nama keuntungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H