Sektor tambang di Indonesia merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara, terutama dari hasil tambang seperti batubara, nikel, dan emas. Namun, di balik sumbangsih ekonominya yang besar, sektor ini juga diwarnai oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Salah satu bentuk paling berbahaya dari korupsi tersebut adalah state capture, di mana kebijakan pemerintah dikuasai oleh kepentingan pengusaha tambang besar demi keuntungan pribadi.
State capture oleh pengusaha tambang tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat lokal, lingkungan, dan masa depan pembangunan berkelanjutan.
Indonesia adalah salah satu penghasil batubara terbesar di dunia. Namun, dampak lingkungan dan sosial dari industri ini sangat besar, termasuk kerusakan hutan, pencemaran air, serta konflik lahan dengan masyarakat lokal. Menurut laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat lebih dari 8.000 izin usaha pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia hingga 2023, banyak di antaranya dikeluarkan tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Salah satu contoh nyata dari state capture di sektor tambang adalah pemberian izin usaha kepada perusahaan tambang besar yang mengabaikan dampak ekologis dan sosialnya. Laporan dari KPK tahun 2022 menemukan bahwa lebih dari 60% dari total izin tambang di Indonesia tidak memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai, yang menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan tambang. Situasi ini memperlihatkan bagaimana kebijakan tambang lebih banyak diatur oleh kepentingan bisnis daripada kepentingan rakyat.
State capture merupakan bentuk korupsi tingkat tinggi, di mana individu atau kelompok bisnis dengan kekuatan finansial menguasai pembuatan kebijakan dan institusi negara demi keuntungan mereka sendiri. Menurut Hellman, Jones, dan Kaufmann dalam penelitian mereka tentang ekonomi transisi, state capture adalah ketika perusahaan atau kelompok bisnis tidak hanya mempengaruhi kebijakan tetapi juga membentuk regulasi yang menguntungkan mereka secara eksklusif.
Di sektor tambang, hal ini terjadi ketika pengusaha menggunakan kekuatan finansial dan politik untuk mempengaruhi pemberian izin, pembuatan regulasi lingkungan, hingga perlindungan dari hukum. Pengusaha besar sering kali memiliki akses langsung kepada para pembuat kebijakan, baik melalui lobi politik, kontribusi kampanye, atau bahkan kolusi dengan pejabat tinggi. Dengan demikian, pengusaha tambang dapat memastikan bahwa regulasi yang dikeluarkan lebih menguntungkan mereka dan mengabaikan dampak negatifnya terhadap masyarakat dan lingkungan.
UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 patut diduga sebagai produk yang lahir dari kondisi State Capture karena penuh dengan ketentuan kemudahan dan kelonggaran bagi perusahaan tambang yang menjamur dewasa ini yang berdampak pada kerusakan massif pada lingkungan, hilangnya tanah warga adat yang menggantungkan hidup pada pertanian dan perikanan serta timbulnya konflik agraria di berbagai daerah.
Ahli hukum dan pengamat korupsi, Laode M. Syarif, mantan Wakil Ketua KPK, menegaskan bahwa sektor tambang di Indonesia adalah salah satu sektor paling rentan terhadap praktik state capture. Ia menjelaskan bahwa sering kali ada tumpang tindih antara kepentingan politik dan bisnis tambang. "Di Indonesia, kita melihat pengusaha tambang besar terlibat dalam pendanaan politik yang akhirnya memengaruhi kebijakan yang dikeluarkan," ujarnya dalam sebuah wawancara pada 2023. Ia juga menyoroti bagaimana banyaknya izin tambang yang dikeluarkan tanpa melalui prosedur yang transparan.
Benny Wijaya, seorang aktivis lingkungan dari Jatam, mengungkapkan bahwa state capture di sektor tambang terlihat dari keberpihakan kebijakan negara pada perusahaan-perusahaan besar yang memiliki koneksi politik kuat. Misalnya, dalam kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah, pengusaha tambang yang kuat berhasil mendorong pemerintah untuk melonggarkan regulasi, meski keputusan tersebut merugikan masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
Dampak dari state capture di sektor tambang sangat signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pengusaha tambang besar yang berhasil menguasai kebijakan dan regulasi tidak hanya memperbesar ketimpangan ekonomi, tetapi juga merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan sumber daya alam. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus pencemaran lingkungan akibat kegiatan pertambangan, seperti di Kalimantan dan Sulawesi, di mana tambang batubara dan nikel telah menyebabkan degradasi hutan dan pencemaran sungai.