Suatu Refleksi Hukum Atas Kasus Pembunuhan Vina dan Eky
"Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah"
PerkaraSengkon dan Karta tahun 1977 asal Desa Bojongsari di Bekasi pernah menjadi sejarah gelap praktek hukum dan peradilan pidana di Indonesia karena keduanya divonis penjara 12 tahun atas tuduhan merampok dan membunuh suami-isteri Sulaiman dan Sitti Haya, setelah keduanya menjalani masa pemidanaan barulah terungkap pembunuh sesungguhnya adalah Gunel berdasarkan pengakuan Gunel sendiri.
Pembuktian dalam perkara Sengkon dan Karta di Pengadilan ternyata lebih menekankan pengakuan kedua terdakwa dalam Berita Acara Penyidikan, pengakuan tersebut ternyata telah diberikan karena keduanya tidak tahan akan siksaan polisi. Keduanya akhirnya dibebaskan melalui upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Agung. Perkara Sengkon-Karta menjadi salah satu alasan pemerintah mengundangkan Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) pada tahun 1981 yang mengedepankan aspek perlindungan Hak Asasi Manusia dalam proses hukum pidana.
Walau KUHAP telah diberlakukan selama puluhan tahun peradilan sesat tidak pernah hilang di negeri ini, yang sangat menarik perhatian insan hukum diantaranya yaitu perkara suami Isteri Risman dan Rostin yang dipidana oleh Pengadilan Negeri Limboto di Gorontalo atas tuduhan membunuh anak perempuan mereka Alta pada tahun 2002. Setelah keduanya menjalani hukuman tanpa diduga pada tahun 2007 Alta muncul di kampung halamannya Desa Modelomo Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo, hal mana membuat warga desa dan sekitarnya menjadi heboh karena setahu warga Alta telah meninggal dibunuh oleh kedua orang-tuanya.
Ternyata Alta masih hidup, lalu jasad siapa yang dikira sebagai jasad Alta ? ( hal ini tidak pernah terjawab) , dan mengapa Risman dan Rostin dihukum karena terbukti membunuh Alta?. Ternyata sama dengan Kasus Sengkon-Karta, suami-isteri Risman dan Rostin juga terpaksa memberi pengakuan yang tidak benar karena tidak tahan akan siksaan polisi selama penyidikan.
Pengakuan tersangka (terdakwa) memang merupakan salah satu alat bukti , namun perlu diketahui Pasal 181 ayat (1) KUHAP mengatur adanya 5 alat bukti dalam mengungkap tindak pidana.
Sejarah penegakkan hukum pidana mengajarkan bahwa pengejaran pengakuan tersangka (terdakwa) berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan akan bermuara pada "peradilan sesat" (Miscarriage of Justice).
Mengapa peradilan sesat selalu saja bisa terjadi ?
Kurangnya pengawasan dan penindakan atas kinerja penyidik sangat memberi peluang kepada penyidik untuk memaksakan pengakuan tersangka dengan menghalalkan segala cara termasuk cara-cara pengancaman dan penyiksaan (torture) dan umumnya yang menjadi korban peradilan sesat adalah rakyat kecil yang jauh dari akses keadilan.
Penyidik kurang dibekali dan tidak termotivasi atau tidak terbiasa menerapkan Scientific-Crime Investigation dalam penyidikan menjadi salah satu faktor mengapa penyidik mencari jalan pintas untuk mengejar pengakuan tersangka.