Lihat ke Halaman Asli

Rudi Nurdiansyah

Mahasiswa Ilmu Politik

Kekerasan terhadap Perempuan saat Terjadinya Perang Saudara di Rwanda Tahun 1994

Diperbarui: 18 Desember 2023   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menilik Kekerasan Terhadap Perempuan saat Terjadinya Perang Saudara di Rwanda Tahun 1994

Republik Rwanda merupakan sebuah negara di benua Afrika bagian timur, Rwanda berbatasan langsung dengan empat negara Afrika lain yaitu; Tanzania, Burundi, Uganda, dan Republik Demokratik Kongo (Joseph, 2021). Rwanda telah dikenal sebagai negara yang kecil, miskin, dan terletak di tengah benua afrika dikelilingi oleh daratan dan tidak memiliki sebuah lautan. Terdapat peristiwa kelam yang pernah terjadi pada negara ini, yaitu peristiwa genosida yang terjadi karena perang saudara pada tahun 1994. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang begitu kelam karena merenggut jiwa hingga 20 persen populasi Rwanda pada saat itu, diperkirakan sekitar lebih dari 800.000 warga rwanda menjadi korban peristiwa genosida rwanda.


Bangsa Jerman merupakan bangsa pertama yang menjajah Rwanda pada tahun 1894. Selama periode ini, kebijakan kolonial mendorong perpecahan antara Hutu, yang merupakan kelompok etnis terbesar di negara itu, dan Tutsi, yang merupakan kelompok etnis terbesar kedua yang dianggap sebagai kelompok minoritas. Mereka melihat orang-orang Rwanda dan menganggap bahwa etnis Tutsi memiliki lebih banyak karakteristik Eropa, seperti kulit yang lebih terang dan tubuhyang lebih tinggi. Selain itu, orang-orang Belgia juga memandang minoritas Tutsi sebagai superior, dan menyukai Tutsi untuk posisi kepemimpinan.

Kekerasan terhadap perempuan memang sering terjadi hampir di seluruh dunia pada saat ini, terdapat korelasi antara budaya patriaki yang mengakar kuat dengan terjadinya kekerasan pada perempuan. Terdapat konsep "Subaltern" merupakan kelompok inferior yang ditindas oleh kelompok penguasa (Ashcroft, 1998). Spivak menjelaskan jika dunia timur merupakan subaltern yang ditindas oleh dunia barat, lalu ia menganalogikannya sebagai hubungan perempuan dan laki -- laki, dimana Spivak melihat jika patriaki dan imperialisme merupakan dominasi kepada kaum terpinggirkan, perempuan dianggap kaum terpinggirkan dan dengan mudah menjadi target dalam kekerasan, tak halnya seperti yang terjadi di Rwanda.


Peristiwa genosida Rwanda tidak terjadi begitu saja, konflik di negara Rwanda telah terjadi bahkan sejak negara Rwanda belum terbentuk dan masih dikuasai oleh negara barat yaitu Belgia dan Jerman. Konflik yang terjadi di negara ini dipicu oleh konflik antar etnis yang terjadi karena adanya supremasi salah satu etnis yang ada di Rwanda yaitu etnis Tutsi (Stanton, 2002). Rwanda memiliki berbagai macam etnis namun etnis yang dominan pada negara ini adalah etnis Tutsi, Hutu, dan Twa. Supremasi etnis yang dilakukan sejak masa kolonial mengakibatkan ketimpangan sosial yang menyebabkan etnis Hutu memberontak dan melakukan perlawanan kepada etnis Tutsi.


Konflik yang terjadi di negara Rwanda ini pun terus berlangsung selama puluhan tahun hingga mencapai puncaknya pada tahun 1994. Konflik ini menguras sumberdaya yang dimiliki oleh Rwanda, mengakibatkan ekonomi yang carut marut, hal ini diperburuk oleh ban hutang luar negeri, kondisi geografis negara yang sempit ditambah laju angka kelahiran yang tidak terkendali yang kemudian membuat Rwanda mengalami overpopulation. Konflik yang terjadi di Rwanda pada saat itu berujung pada pembunuhan massal yang mengarah pada genosida karena ratusan ribu orang Rwanda meninggal karena pembantaian.


Selain melakukan genosida, ekstremis Hutu juga melakukan pemerkosaan massal kepada etnis Tutsi. Korban pemerkosaan ini tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Pemerkosaan saat itu dijadikan sebagai salah satu senjata untuk melemahkan "kelompok musuh" yang dalam hal ini etnis Tutsi. Hutu menggerakkan pelaku yang merupakan penderita HIV. Hal tersebut dilakukan agar etnis Tutsi dibuat mati secara perlahan-lahan dengan sakit HIV (Drumbl, 2011). Terhitung sejauh ini Hutu telah melakukan pembunuhan terhadap 300 warga sipil Tutsi di Kabirira pada Oktober 1990. Pada Januari 1991, 500 hingga 1000 orang Tutsi terbunuh di Kinigi. Pada bulan Maret 1992, 300 orang Tutsi dibantai oleh milisi Hutu di Bugesera. Tidak ada yang pernah ditangkap karena kejahatan ini dan tidak ada pula permintaan dari diplomat internasional untuk penangkapan. Tetapi tidak menghalangi komunitas diplomatik tahu tentang kejahatan itu. Kedutaan Amerika Serikat pada Februari 1994 mencatat pembantaian 70 Tutsi Interahamwe di Kigali antara 22 dan 26 Februari (Stanton, 2002).


Selama konflik tersebut, terjadi kekerasan seksual yang sistematis dan luas terhadap perempuan. Kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang untuk mendiskreditkan, merendahkan, dan melukai kelompok lawan. Perempuan Tutsi menjadi target utama, dan mereka mengalami pemerkosaan, penyiksaan seksual, dan kekerasan lainnya dengan tingkat kekejaman yang tinggi. Banyak perempuan menjadi korban pemerkosaan massal, bahkan di hadapan keluarga mereka sendiri. Selain itu, banyak yang dipaksa menjadi budak seksual atau mengalami kekerasan seksual sebagai bagian dari kampanye genosida yang dilancarkan oleh pemerintah Rwanda pada saat itu.

Upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Rwanda tidak dapat dilepaskan dari adanya keterlibatan pihak ketiga. Sejak adanya invasi yang dilakukan oleh Front Patriotik Rwanda (FPR) terhadap rezim Habyarimana pada tahun 1990-an, yang memicu pecahnya perang sipil dan konflik antar etnis Tutsi dan Hutu yang berkepanjangan di Rwanda, telah dilakukan berbagai macam upaya penyelesaian konflik. Pada mulanya, upaya perdamaian dilakukan oleh negara-negara di sekitar kawasan Rwanda. Tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1990, Presiden Rwanda mengadakan pertemuan dengan Presiden Moi (kenya) dan Presiden Mwinyi (Tanzania). Pertemuan tersebut menghasilkan persetujuan gencatan senjata antara pemerintah Rwanda dengan pasukan FPR. Namun, gencatan senjata tersebut hanya berlangsung selama tiga minggu. Selain itu perlu adanya penghapusan budaya patriaki, juga peraturan yang mengatur perlindungan terhadap kaum marginal seperti perempuan. Karena jika tidak ada perubahan mendasar maka perempuan akan terus menjadi target kekerasan oleh banyak pihak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline