Lihat ke Halaman Asli

Rudi Ahmad Suryadi

Pembelajar Keislaman

Idul Fitri, Menuju Kesucian Diri

Diperbarui: 18 Mei 2021   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Puasa dilakukan di Ramadan sebulan penuh. Manusia didorong untuk melaksanakan dan menikmatinya. Hanya satu bulan dari dua belas bulan yang diperintah.  Kewajiban ini tidak hanya untuk dirinya. Orang sebelumnya, telah dititahkan pula. Tuhan memberikan sebuah harapan yang baik, agar manusia bertakwa kepadanya.

Latihan satu bulan sejatinya diakhiri dengan kemenangan. Raihan kemenangan dirayakan dengan idul fitri (kembali kepada kesucian). Muslim bersukacita dengan penuh harap, semoga latihan satu bulan menguatkan dirinya untuk upaya meraih kesucian.    

Idul fitri tidak semata seremonial yang gegap gempita. Walaupun, pada kenyataannya, semua bersukacita. Idulfitri bukan sekedar berbaju baru. Idulfitri menjadi milik orang yang menapaki diri melalui latihan ramadan. Idulfitri menjadi simbol kebahagiaan bagi orang yang telah tuntas menikmati ramadan dengan kedekatan kepada-Nya.

Idulfitri bermakna kembali kepada kesucian. Ia menyadarkan manusia akan kejadian pertamanya yang suci tidak ada noda. Dirinya putih bersih tak ada cela.  Kehidupan luar dan godaan yang menimbulkan dirinya bisa berdosa, sehingga dirinya tak seputih dan suci seperti  awal dilahirkan.

Manusia pada dasarnya fitrah (suci). Fitrah manusia sebagai awal kejadian memiliki makna kesucian yang melekat pada dirinya. Ketika proses penciptaan, penyempurnaan bentuk fisik, ditiupkan ruh Allah Swt padanya. Ruh manusia berasal dari ruh-Nya. Ruh tersebut penuh kebaikan. Manusia pada dasarnya adalah baik, karena ruhnya berasal dari ruh Allah Swt.

Bawaan sejak lahir yang suci menjadi eksistensi fitrah. Manusia memiliki agama bawaan alami yaitu tauhid. Sebagai agama fitrah, Islam sesuai dengan naluri keberagamaan dan perkembangan fitrahnya.  Agama yang fitrah sesuai dengan jalan untuk kembali pada kesucian.

Kondisi sifat bawaan adalah fitrah, suci, dan cenderung pada kebenaran.  Manusia pada dasarnya suci dan tanpa dosa. Pergelutannya dengan dunia, menjadikan akal dan nafsu bertarung.  Akal kadang menang, nafsu kalah, ataupun sebaliknya.  Keadaaan suci manusia bukan permintaannya, melainkan pemberian dari Allah Swt.

Pertarungan antara kebaikan dan keburukan mengitari kehidupan manusia. Dorongan kebaikan mendatangkan penguatan kesucian diri. Dorongan keburukan akan mengurangi kesucian, karena ia dibubuhi cela. Ibarat cermin, dosa akan mengotori permukaannya ketika bintik-bintik kecil mengenainya.

Sungguh bahagia bagi orang yang menyucikan jiwanya. Jiwa yang asalnya suci sebagai fitrah, kembali pada kesucian, dan terus diupayakan untuk selalu disucikan. Walau, terkadang ia pernah terjerambab pada dosa, ia segera kembali untuk menyucikannya.  Sungguh merugi bagi yang mengotorinya, apalagi jika rentang waktu tertentu berjibaku untuk menjauh dari-Nya.

Puasa satu bulan penuh mengajarkan manusia untuk sadar pada keadaan dirinya. Allah Swt menghendaki manusia untuk bertakwa kepada-Nya. Puasa menjadi hadiah istimewa bagi manusia untuk terus menapaki jalan ruhani.   Kehidupan di luar puasa, terkadang lebih hebat godaannya, dapat diatasi oleh satu bulan puasa untuk latihan diri.  Hadiah istimewa ini jangan diabaikan. Pengabaian terhadapnya seolah tidak ingin mencicipi nikmat besar dari-Nya.

Idulfitri setelah puasa Ramadan menjadi jalan yang ditapaki menuju kesadaran pada kesucian diri. Tempaan dan latihan menjadikan jiwa ditarik sesuai dengan dorongan fitrah.  Semoga semua kesalahan diampuni. Kita dikembalikan pada keadaan suci dan meraih kemenangan kasih sayang dari-Nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline