Lihat ke Halaman Asli

Bapak Presiden, "Revolusi Belum Selesai!"

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Revolusi Belum Selesai” sangat terkenal di era Presiden Soekarno. Menurut beliau, perjuangan fisik memang telah selesai, penjajah telah pergi dari bumi Indonesia, tetapi perjuangan di bidang lain sedang menunggu. Misalnya di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Untuk itu semua komponen bangsa harus bersatu dan bahu-membahumenata, membangun Republik Indonesia. Jadi, “Revolusi Belum Selesai” itu mengacu kepada kelanjutan revolusi fisik sewaktu melawan penjajah dulu. Untuk mendukung semua itu diperlukan orang-orang yang “berpikiran maju” dan berjiwa “progresif-revolusioner”. Orang yang tidak mendukung ide itu disebut “kontra revolusi”. Di zaman pertentangan aliran politik yang tajam di era tahun 1955 –19 65, masing-masing pihak yang bertentangan itu saling klaim sebagai “berpikiran maju” dan berjiwa “progresif-revolusioner”.

Tetapi penentang politik Presiden Soekarno mengatakan “Revolusi Belum Selesai” itu tidak cocok lagi dipakai pasca kemerdekaan. Hanya bisa diterapkan dalam keadaan tidak menentu, kacau, pemimpin diktator—mengacu kepada teori Marxis. Tetapi bukan Soekarno namanya bila pantang menyerah jika itu baik menurutnya. Begitulah, “Revolusi Belum Selesai” terus digelorakan, terutama dalam pberbagai pertemuan dan pidatonya yang berapi-api.

***

Di era pemerintahan Presiden Jok Widodo sekarang “Revolusi Belum Selesai” dipandang masih relevan digelorakan. Apalagi bila dikaitkan—meminjam istilah Mantan Presiden SBY— dengan kegaduhan di bidang politik dan hukum akhir-akhir ini yang seakan tidak berkesudahan. Banyak peraturan perundang-undangan dikedua bidang tersebut yang perlu disempurnakan. Kekurangannya sering dijadikan celah untuk melepaskan diri dari jeratan suatu kasus.

Banyak pihak mensinyalir peraturan perundang-undangan antara lain di bidang politik dan hukum, dibuat hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga belum lama diterapkan sudah direvisi. Itu dapat kita lihat, misalnya, pada undang-undang MD3.

Peraturan perundang-undangan yang ada juga kurang menyorot aspek moral, etika. Ke depan hal itu kiranya perlu mendapat perhatian serius bagi perancang perundang-undangan. Misalnya dengan membuat pasal: seseorang yang salah secara moral, etika, wajib mengundurkan diri dari sebuah jabatan yang dipangkunya—pemikiran ini bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh kasus yang menimpa calon Kapolri. Bbukankah kasus moral juga banyak menimpa yang lain, baik di Pemerintah Pusat maupun di Daerah). Di negara Barat/maju, yang sering dijadikan rujukan, tradisi mundur karena salah moral sangat berkembang. Mengapa di Indonesia yang katanya berbudaya tinggi, tradisi itu tidak jalan?

***

Ketika Joko Widodo mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia beliau mempopulerkan kembali kata revolusi itu. Tetapi ditambah dengan embel-embel mental, sehingga menjadi “Revolusi Mental”.

Pelaksanaan “Revolusi Mental” seperti yang diharapkan Presiden Joko Widodo kita maknai sebagai bagian dari upaya pelaksanaan“Revolusi Yang Belum Selesai” itu.

Ketika Presiden Joko Widodo menggulirkan perlunya “Revolusi Mental” itu, katanya dilatarbelakangi oleh keterpurukan bangsa Indonesia di berbagai bidang. Penyebabnya karena mental yang rusak. Padahal dulunya bangsa Indonesia terkenal berbudi luhur. Tanpa perubahan mental, Indonesia tetap akan terpuruk. Untuk itu perlu diperbaiki secara drastis (“Revolusi”). Tetapi “Revolusi” di sini tidaklah sama pengertiannya dengan “Revolusi” dalam teori Marxis. Kata “Revolusi” disini bermakna mendesak, segera, prioritas utama, untuk dilaksanakan.

Kita sangat setuju dengan keinginan Presiden Joko Widodo tersebut. Tetapi sampai hari ini belum ada dokumen resmi—misalnya, Peraturan Presiden—agar dapat dijadikan payung hukum dalam mengimplementasikannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Banyak yang mustahak (penting) untuk direvolusimentalkan. Jika mengacu kepada isu aktual akhir-akhir ini, terutama di bidang politik dan hukum, yang mendesak itu tentulah lembaga yang terkait dengan politik dan penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksanaan, kehakiman, mahkamah agung—itu tidak berarti lembaga lain sudah baik mentalnya.

***

Mantan Presiden SBY, telah menerbitkan Perpres Nomor 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2015 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10/2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.

Barangkali, ada baiknya peraturan itu dilanjutkan saja, dan sempurnakanlah bila terdapat kekurangannya. Ha-hal baik, peninggalan presiden terdahulu, kiranya perlu dilanjutkan. Dan tidak perlu malu bila dianggap tak punya program. Kalau kita jujur, tidak ada sebenarnya program yang benar-benar baru (orisinil).

Di sisi lain, revolusi mental yang didengungkan Presiden Joko Widodo itu, sesungguhnya sudah dimuat di dalam8 Area Perubahan RB yang terdapat di dalam Road Map Reformasi Birokrasi yang dibuat semasa pemerintahan Presiden SBY.

Dalam Nawacita-nya Presiden Joko Widodo ada disebutkan tentang “mental” itu, yaitu pada nomor 8: “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional”. Bandingkan dengan yang dimuat dalam 8 area perubahan RB, nomor 8: Pola Pikir (mind-set) dan Budaya Kerja (culture-set).

Memang, di tingkat Kementerian/Lembaga, Road Map RB secara formal telah selesai dilaksanakan. Tetapi bukan berarti telah selesai. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi.

Lain halnya dengan di daerah provinsi dan kabupaten/kota, Road Map RB belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan.

Ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain tidak atau belum samanya visi, misi dan persepsi pejabat dan aparatur biasa terhadap RB tersebut. Selain itu terjadi resistensi/penolakan, walaupun tidak terang-terangan. Terutama bagi mereka yang merasa terganggu zona kenyamanannya.

Keberhasilan reformasi birokrasisebagai bagian dari “Revolusi Mental” dan kelanjutan dari pelaksanaan “Revolusi yang belum selesai” itu, sangat ditentukan oleh komitmen dan keteladanan para pejabat (eksekutif, legislatif, yudikatif) mulai dari Pemerintah Pusat sampia ke Daerah. Ditambah pemberitaan media massa dan tekanan (pressure) pihak-pihak terkait lainnya.

Revolusi memang belum selesai!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline