Dunia dibuat kaget sekaligus 'gembira' dengan runtuhnya organisasi radikal ISIS pada tahun 2019 silam. Tidak terasa organisasi yang dideklarasi oleh sosok bernama Abu Bakar Al-Baghdadi harus pasrah diruntuhkan setelah bendera sempat 'berjaya' kurang lebih 5 tahun lamanya.
Tapi siapa sangka, masih banyak opini di luar sana yang menganggap kekalahan ISIS tersebut tidaklah permanen adanya. Daya tarik ISIS tampak masih memesona. Terbukti kekuatan ISIS yang masih membahayakan ini diakui sendiri oleh Amerika Serikat, lantaran ISIS masih memiliki pemimpin, pasukan, fasilitator, sumber daya dan idiologi yang menjadi 'bahan bakar' utama gerakan radikal mereka. Singkatnya, 'sel-sel tidur' ISIS masih bergerilya di luar sana, mereka menunggu waktu untuk kembali menunjukkan aksinya.
Bangunnya Sel-Sel Pro ISIS yang Tertidur
Hingga tahun 2020 ini, aksi 'sapu bersih' oleh Densus 88 terhadap sel-sel pro ISIS Indonesia masih terus dijalankan. Hal ini dilakukan agar peristiwa kelompok ISIS, seperti Jamaah Anshorud Daulah (JAD) yang merupakan 'serpihan' ISIS tidak lagi memiliki panggung di dunia per-teroris-an.
Kekhawatiran ini mucul mengingat salah satu aksi penangkapan besar-besaran setelah pengeboman bunuh diri pada bulan Mei 2018 di Surabaya, telah berhasil memuci emosi sel-sel pro ISIS Indonesia untuk lebih memberontak. Penangkapan terhadap koalisi pro-ISIS terbesar di Indonesia, yaitu Jamaah Ansharul Daulah (JAD), telah merusak struktur walaupun tetap meninggalkan beberapa unit teritorial yang tetap bertekad untuk bertindak sendiri (lone wolf).
Hal ini disebabkan sel-sel pro ISIS di Indonesia memiliki 'kiblat' lain selain JAD, misalnya Jamaah Ansharul Khilafah (JAK). Namun di luar itu, muncul juga sel-sel pro ISIS yang mencoba untuk menemukan sesama jihadis melalui rekrutmen online maupun offline (a.k.a "sel-sel ISIS yang mandiri).
Komitmen Ke-radikal-an
Kemunculan sejumlah sel-sel ISIS mandiri di Indonesia harus diakui memang cukup signifikan dan 'kiblat' mereka sangat beragam. Meskipun begitu, komitmen mereka terhadap "kekerasan/radikal" nyatanya masih menjadi jati diri utama sebagai tanda pengenal mereka pada warga dunia.
Pihak keamanan Indonesia harus menyadari bahwa setelah peristiwa pengeboman di Sri Lanka, bangunan-bangunan rumah ibadah lain mungkin akan menjadi sasaran utama bagi anggota sel-sel ISIS. Meskipun Indonesia masih bisa dikatakan beruntung karena para teroris umumnya hanya memiliki sedikit pengalaman dibanding aksi radikal ISIS yang terjadi di negara lain.
Pertumbuhan sel-sel pro-ISIS yang mandiri di Indonesia tampak masih bersesuaian dengan pola lama. Sel-sel seperti itu telah muncul di masa lalu dari tindakan keras pemerintah terhadap kelompok dominan, persaingan pribadi di antara calon pemimpin, debat ideologis atau pun keinginan untuk menunjukkan komitmen terhadap rekan-rekan sesama jaringan. Noordin Top misalnya, muncul dari gelombang penangkapan anggota Jemaah Islamiyah setelah bom Bali pada tahun 2002.
Selain itu, Jaringan Aman Abdurrahman muncul sebagai tantangan bagi Noordin Top dan perbedaan atas tujuan akhir serangan jihad. Munculnya sel-sel pro ISIS yang tidak terafiliasi terjadi setelah struktur JAD dihantam dengan lebih dari 300 penangkapan di sekitar Mei dan Desember 2018.