Lihat ke Halaman Asli

Ruby Astari

Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

Menabung Air Hujan untuk Memanen Manfaat

Diperbarui: 14 September 2019   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: pxhere.com

Sejak kecil, saya punya kebiasaan bermain air. Tidak hanya saat mandi maupun berenang, saat hujan begitu. Bahkan, bersama adik laki-laki saya, saya punya kebiasaan mendongak dan membuka mulut saat hujan. Untuk apa, sih? Ya, dulu kami suka memperlakukan air hujan layaknya air minum biasa.

Dulu, saya belum tahu bahwa ternyata menabung air hujan memanen manfaat. Bahkan, dulu ada anggapan bahwa bermain air hujan -- apalagi saat deras -- bisa membuat badan sakit. Cukup terbukti sih, beberapa kali berhujan-hujan ria, kami kemudian terserang demam. Tapi, apa iya karena hujan?

Tentu saja tidak. Kita baru jatuh sakit bila kebetulan imunitas tubuh sedang rendah. Hujan yang membasahi pakaian dan tubuh juga otomatis menurunkan suhu tubuh, sehingga membuat kita rentan jatuh sakit. Apalagi bila kebetulan kita berdiri dekat-dekat dengan orang yang tengah terinfeksi virus.

Lalu, Mengapa Ada yang Menabung Air Hujan?

Dilansir dari sebuah artikel pada situs berita lingkungan Mongabay (tertanggal 4 Juli 2018), menabung air hujan memanen manfaat -- terutama saat musim kemarau. Dua orang petani di Desa Wlahar, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) sudah melakukannya pada 29 Juni 2018 itu.

Mengingat tanaman padi bergantung pada curahan air hujan, musim kemarau dapat menjadi masalah. Musim kemarau memang tidak dapat dihindari, karena merupakan bagian dari siklus musim di negara-negara tropis -- termasuk di Indonesia. Namun, bila tidak ada manajemen air yang efektif, semua tanaman bisa mati karena kekeringan.

Akibatnya, warga dilanda kelaparan dan kehausan. Bisa sih, membeli makanan dan minuman di kota besar. Namun, jarak yang jauh juga menjadi penghambat. Selain itu, harga yang harus dibayar biasanya juga jauh lebih mahal daripada menanam dan memetik sendiri.

Barulah pada tahun 2012, masalah tersebut teratasi dengan cara membangun semacam penampungan air atau waduk mini buatan. Menurut penuturan Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Daerah Desa Kalibagor, Sumanto, Yayasan Obor Tani Semarang menawarkan kerjasama berupa pembangunan embung di daerah kritis air. Saat itu, ada 25 ha lahan kritis air di perbukitan di sana.

Embung seluas 40 x 60 meter itu berkedalaman 2,5 meter.Pemprov Jateng mengalokasikan dana sebesar 500 juta rupiah saat membangunnya bersama dengan Pemkab Banyumas. Pemkap Banyumas sendiri mengalokasikan dana sebesar 100 juta rupiah. Mereka juga mendapatkan bantuan dari program CSR (community social responsibilities) sebuah BUMD (badan usaha milik daerah) Provinsi Jateng sebesar 1,1 miliar rupiah selama 3,5 tahun.

Lalu, di manakah peran Yayasan Obor di sini? Mereka menjadi pendamping para petani dalam membudidayakan hasil tanaman di lokasi kering akibat kemarau. Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk program ini, kelengkeng dan durian merupakan dua tanaman yang cocok untuk kondisi gersang.

Para petani memilih menanam kelengkeng. Ternyata, setelah 3,5 tahun berlalu, pohon kelengkeng berbuah dan dapat menghasilkan buah yang ranum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline