Lihat ke Halaman Asli

Ruby Astari

Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

Budaya "Galau" Nusantara, Kemuakan Bersama dan Standar Ganda

Diperbarui: 3 Juli 2018   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(quickmeme.com)

Bukan baru sekali ini saya mendengar keluhan seputar budaya 'galau' di bumi Nusantara. Ada yang bilang ini karena pengaruh Melayu dari dulu, selalu mendayu-dayu. Maunya lagu cinta melulu.

Nggak cuma itu, novel roman dan film cinta-cintaan juga laku. Keduanya selalu banjir peminat. Apalagi kalau kebetulan ceritanya cukup panjang dan lumayan menguras air mata, tapi tetap (harus) ada happy ending-nya.

Masih ada lagi. Kadang media sosial ibarat buku harian bagi sebagian penggunanya. Lihat saja, banyak yang curhat. Mulai dari yang lagi naksir berat hingga kepikiran, jatuh cinta sampai susah makan, senang karena lagi jadian, kangen berat, lagi berantem sampai main sindir-sindiran, putus berujung dendam...

...dan daftarnya bisa lebih panjang dari tulisan ini. Boleh saja ingin membela bahwa itu hak orang dalam berekspresi. Apalagi saat lagi sedih. Masa harus ditahan-tahan, sih? Alamat bisa gila nanti.

Terserah juga sih, kalau nggak mau ngaku juga pernah melewati 'fase memalukan' ini. Namanya juga manusia. Mau merasa sekuat apa pun, pasti ada masa-masa lagi pengen galau dan curhat barang ke satu atau banyak orang.

Kemuakan Bersama

Suka nggak suka, budaya galau emang masih mewabah. Selain nuduh pengaruh Melayu, Hollywood, Bollywood, hingga telenovela juga dianggap biang keladinya. Sinetron kita jadi ikut-ikutan mereka, menjual mimpi dan ilusi. Urusan asmara saja dianggap sama dengan hidup dan mati. Duh.

"Pantes aja Indonesia nggak maju-maju," keluh seorang teman. Pastinya, dia bukan yang pertama. "Orangnya pada lembek-lembek gini. Baru patah hati dikit aja udah kayak mau mati!"

Boleh sepakat, boleh keki. Saya sih, kadang juga gerah melihat mereka yang sering curhat soal patah hati mereka dan 1001 masalah lain yang berkaitan. Kayaknya butuh banget perhatian seluruh dunia, dibandingkan dengan mereka yang punya masalah lebih berat: sakit fisik menahun, jadi korban kekerasan pasangan, hingga kehilangan tempat tinggal karena kekisruhan politis.

Tapi, kalau termasuk penganut paham hak asasi untuk mengeluhkan apa pun di media sosial, kok rasanya saya kayak ngajak ribut, ya? Belum lagi kesannya jadi begini:

Standar Ganda

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline