Lihat ke Halaman Asli

Ruby Astari

Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

Di Dalam Bilik dan Laman Media Sosial

Diperbarui: 14 Februari 2017   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dulu sekali, saya pernah membahas ini dengan seorang kawan ekspat. Dulu sekali, sebelum media sosial seberpengaruh ini.

“Kalian aneh, deh,” komentar kawan saya. “Mau milih partai politik atau calon presiden saja pakai cerita ke mana-mana. Padahal pas ‘nyoblos’ juga ngumpet di dalam bilik.”

Iya juga. Lalu, karena waktu itu tidak punya penjelasan cukup masuk akal untuk berargumen, saya biarkan saja kawan saya melanjutkan:

“Kalau begitu, ngapain ‘nyoblos’-nya di balik bilik? Mending di depan semua orang aja sekalian.”

Jujur, saya sepakat dengan argumen kawan saya. Mungkin semakin relevan dengan adanya laman media sosial dan berita digital lainnya. Setiap netizen bebas mengakses info apa pun mengenai calon pemimpin yang mereka jagokan, entah itu konten berita, kampanye, hingga…hoax.

Setelah itu, mereka tinggal reshare konten tersebut pada laman media sosial mereka. Bahkan, sebagai pembanding, mereka juga memposting tautan artikel mengenai “keburukan” para saingan dari calon yang mereka jagokan.

Terdengar familiar? Mungkin Anda pernah – dan masih – melakukannya. Anda bukan satu-satunya. Percayalah, saya dulu juga pernah. Tidak perlu bangga atau terlalu malu. Cukup jadikan pembelajaran saja.

Secara nggak langsung, para pendukung politisi berikut menjadi ‘perpanjangan tangan’ dari juru kampanye mereka. Semakin viral, semakin banyak yang ngeh dengan nama calon tersebut, berikut sepak-terjangnya.

Hmm, bagaimana dengan saya sendiri?

Jujur, saya sempat melakukan kesalahan serupa (setidaknya menurut saya) saat PILPRES (pemilihan presiden) lalu. Meski pas nyoblos ngumpet di dalam bilik, semua orang sudah menebak pilihan saya dari laman media sosial saya. Menarik sih, saat membahas soal politik saat itu – terutama dengan pihak yang berseberangan.

Sayangnya, tidak semua orang bisa bersikap dewasa menghadapi perbedaan. Nggak setuju ya, nggak apa-apa. Pilihan saya dengan ibu saya waktu itu juga berbeda. Masa hanya gara-gara itu saya jadi konyol dan durhaka sama ibu saya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline