Di mataku, kamu sosok yang membingungkan. Ada kalanya kamu membuatku lelah, namun aku belum ingin menyerah.
Ada kalanya, kamu tersenyum ramah padaku, sama seperti pada semua orang. Bagiku, dunia menjadi lebih cerah berkat senyummu yang merekah. Tapi...ah, dasar sial. Aku takut kamu menganggapku gombal.
Siapa yang telah menyebabkanmu berpikir demikian? Mengapa sepertinya sulit bagimu untuk percaya akan tulusnya pujian?
Sesekali sorot matamu masih tampak jauh. Ada kalanya, kamu gagal menyembunyikan luka. Jika sedang begitu, senyummu berubah kaku.
Ada amarah dan pedih yang beku di matamu. Setiap ditanya, kamu hanya mengangkat bahu. Kadang kamu menggeleng dan menjawab: “Nggak apa-apa.”
Kusadari juga sikap beberapa temanmu. Ada yang bermata elang, menatapku curiga. Gerak-gerikku diawasi dengan sedemikian rupa, terutama saat berada terlalu dekat denganmu.
Mereka berusaha menjagamu, entah kenapa. Padahal, kuyakin kamu tidak serapuh itu.
“Sekalinya lengah, perempuan selalu lebih mudah dipermainkan,”ucapmu geram. “Begitu kalah, tetap perempuan yang akan selalu disalahkan!”
Ah, pedihnya nada suaramu. Mungkin karena itulah, malam itu kamu begitu murka. Selepas acara pembacaan puisi dan cerpen yang kita ikuti setiap minggu, acara kumpul bersama berakhir bencana.
Aku menyesal. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin menciummu saat kita berdua sedang di dapur. Sentimental ala film Hollywood. Kamu langsung sadar dan mendorongku.
“Mundur.” Astaga, suaramu sedingin es. Tanpa menunggu responku yang sedang shock, kamu langsung kabur. Meninggalkan acara begitu saja, tak peduli panggilan dari teman-temanmu: