Lihat ke Halaman Asli

Ruby Astari

Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"Di Balik Mengheningkan Cipta di Sarinah-Thamrin..."

Diperbarui: 29 Januari 2016   13:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memang beda antara jurnalis profesional dengan blogger amatiran seperti saya. Niatnya ingin datang tepat waktu, mengamati sekeliling, hingga mungkin foto-foto serta mewawancarai narasumber terkait acara mengheningkan cipta untuk korban bom Sarinah - Thamrin yang diadakan pada Jumat, 15 Januari 2016, pukul empat sore.

Acaranya di lokasi bekas ledakan dan sekitarnya, namun saya terlambat lima menit karena satu dan lain hal. Celakanya, baterai HP saya habis dan tidak sempat recharge. Tidak bawa kamera foto juga karena memang belum punya.

Intinya, persiapan saya untuk menulis soal ini benar-benar PAYAH. Kalau saya jurnalis beneran, mungkin sudah dipecat.

Jadinya, saya hanya berputar-putar di tengah keramaian yang mayoritas berbaju putih. Banyak juga kalangan media yang meliput acara tersebut, baik dalam maupun luar negeri.

Berhubung demikian, saya tidak akan menceritakan hal yang sama. Ada spanduk #KamiTidakTakut dan #WeAreNotAfraid berwarna merah. Ada pembagian kembang mawar putih dan acara doa bersama di depan gerbang tempat pemboman terjadi. Ada juga orasi bergiliran dari tokoh-tokoh terkenal serta pekikan "Kami tidak takut!" yang diserukan berkali-kali.

Saya juga tidak akan menutup mata bahwa di tengah-tengah orasi, banyak yang lebih memilih foto selfie. Tidak salah sih, selama masih ingat tujuan utama acara tersebut dan tidak kehilangan makna - alias sekadar hura-hura. Tiap beberapa menit sekali, ada saja yang meminta tolong saya untuk memotret mereka, lengkap dengan latar kerumunan serta spanduk di tangan.

Terlepas dari semua itu, mungkin wajah-wajah ceria sore itu dapat memberi harapan dan suntikan keberanian.

"Kira-kira apa yang coba mereka sampaikan melalui kegiatan ini?" tanya seorang jurnalis dari salah satu media yang kebetulan meminta waktu saya untuk wawancara narasumber orang awam. Berhubung awam, saya hanya bisa mengira-ngira:

"Di sini kami berkumpul tidak hanya sebagai warga kota dan anak bangsa, namun juga sesama manusia dalam memerangi terorisme. Teroris adalah pengecut yang merusak nama agama lewat kekerasan."

Damai Jakarta-ku, damai negeriku. Semoga tiada lagi kekerasan dalam bentuk apa pun, karena perdamaian ini terlalu berharga untuk dirusak dengan sedemikian rupa...

R.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline