Lihat ke Halaman Asli

Filosofi Hujan

Diperbarui: 23 Oktober 2022   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hari ini saya mempunyai pengalaman yang sangat menarik. Saat kami ada satu kegiatan pengembangan diri, oleh narasumber kami diminta mengenali diri. Kami peserta diminta menggambar apa saja yang menggambarkan filosofi diri. 

Awalnya saya bingung mau menggambar apa. Saya jadi teringat sebuah puisi yang saya tulis di kompasiana.com yang berjudul "hujan". Masing-masing sibuk menggambar dan ditempelkan di tempat yang telah disediakan.  Kebetulan kertas saya diambil pertama oleh narasumber. Kebayang dong, gugupnya. Mana orang banyak. Aduuh pikirku, tapi dengan penuh percaya diri saya maju. Padahal tangan saya agak gemetar menahan grogi. Maklum menurut saya hal yang paling susah itu adalah bicara didepan orang banyak. 

Saya awali dengan salam dan memperkenalkan diri. Kemudian saya menyebutkan alasan mengapa saya menggambil hujan sebagai filosofi yang menggambarkan diri saya. "Ibarat hujan, yang sesudahnya  keindahan pelangilah yang dipuji bukan hujan. Akan tetapi dari hujan kita banyak belajar. Hujan selalu dirindukan oleh pohon-pohon yang kekeringan. Memberi manfaat dan menabur manfaat itu sendiri  di semesta alam" kata saya memaknai sebuah gambar hujan. Rasanya dingin tangan saya sehabis maju kedepan. Rasanya luar biasa, hal-hal seperti ini harus terus saya latih agar terbiasa berbicara di depan orang banyak. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline