Lihat ke Halaman Asli

Rubeno Iksan

Mahasiswa Ilmu Sejarah S1 di Universitas Negeri Semarang

Seberapa Efektifkah "Julid fii Sabilillah"?

Diperbarui: 19 Desember 2023   14:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Erlangga Greschinov, perintis gerakan Julid fii Sabilillah. (Suara.com)

Selama ini, diksi 'julid' digambarkan dengan sebuah konotasi negatif. 'Julid' sendiri dianggap merupakan salah satu bentuk dari cyberbullying karena memiliki unsur menjatuhkan kredibilitas seseorang melalui hujatan, fitnah, bahkan ancaman-ancaman yang menjatuhkan mental seseorang. 

Namun, seorang aktivis sosial media sekaligus pendiri komunitas 'Fakta Bahasa' yang aktif berkecimpung di Twitter/X bernama Erlangga Greschinov mengubah makna julid yang sebelumnya lekat dengan konotasi negatif menjadi lebih bermakna, yaitu sebagai alat perjuangan kemerdekaan Palestina. 

Tentunya, melalui serangan psikologis yang mampu melemahkan semangat perang tentara zionis Israel (IDF), baik dengan pengambilalihan akun media sosial (hacking) hingga hujatan-hujatan (trolling) yang ditujukan kepada prajurit IDF. 

Sebetulnya, target dari 'Julid fii sabilillah' tidak menyasar pada para tentara IDF, namun para pejabat tinggi hingga influencer pro-Israel juga dijadikan sebagai target serangan yang dilakukan oleh 'Brigade Hassan bin Tsabit' ini.

'Pena lebih tajam daripada pedang'

Hananya Naftali bersama dengan PM Israel, Benjamin Netanyahu. Ia pernah menjadi sorotan netizen karena memposting bendera Indonesia-Israel. (CBN)

Sejak zaman dahulu, media massa merupakan senjata yang lebih mematikan dibandingkan gas mustard yang digunakan pada Perang Dunia Pertama. 

Di Kerajaan Turki Utsmaniyyah misalnya, surat kabar memberi pengaruh yang signifikan terhadap pergantian kekuasaan, apalagi di masa Sultan Abdulhamid II hingga Mehmed VI, yang di mana, sudah muncul gerakan-gerakan intelektual yang menentang kekuasaan absolut para sultan, yang menggunakan surat kabar untuk menyuarakan opini dan gagasan mereka untuk menekan penguasa agar memberlakukan sistem monarki konstitusional seperti di Inggris serta membentuk parlemen ala Barat. 

Di negara-negara yang menganut prinsip totalitarianisme, seperti Jerman di era Adolf Hitler, media massa seperti radio hingga surat kabar digunakan sebagai alat propaganda untuk mengagung-agungkan ras Arya dan bangsa Jerman itu sendiri, serta menjatuhkan kredibilitas para lawan politiknya dan orang-orang Yahudi, dengan diksi negatif yang disematkan kepada mereka. Mulai dari penyandingan antara orang-orang Yahudi dengan wabah penyakit hingga komunisme yang distigmakan sebagai sebuah ideologi yang buruk bagi rezim Hitler. 

Penggunaan pers sebagai media perlawanan juga digunakan oleh tokoh-tokoh pergerakan di Hindia Belanda. Sebagai contoh, bagaimana Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantoro) bisa mengkritik perayaan 500 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol, namun mereka memilki koloni di Suriname, Curacao, hingga Nusantara. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline