Oleh: Ruba Nurzaman
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, menyatakan bahwa, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jadi apabila merunut pada tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan itu sejatinya adalah proses pembentukan ataupun pengembangan kompetensi-kompetensi yang fundamental. Baik itu secara intelektual maupun emosional, bahkan secara spiritual. Dimana diharapkan akhirnya mampu menghasilkan manusia yang bermutu dan berguna untuk kemajuan bangsa dan negara dalam hidup bermasyarakat dan mencapai tujuan akhir dari kehidupan, yakni menjadi penghuni syurga di yaumil akhir kelak.
Ketika Ujian Nasional (UN) mulai dilaksanakan, terjadi perubahan paradigma baik bagi guru, sekolah, maupun siswa terhadap pendidikan. Sekolah berlomba-lomba untuk bisa mengejar target kelulusan siswa, karena ketika di sekolah tersebut banyak siswa yang tidak lulus, secara tidak langsung itu akan merusak reputasi sekolah dan akhirnya akan ditinggalkan. Tentu hal ini sangatlah tidak diharapkan baik itu oleh sekolah maupun guru.
Saya masih bisa membayangkan ekspresi wajah para kepala sekolah, guru, siswa, bahkan orangtua siswa, ketika Ujian Nasional mulai diterapkan dan dijadikan sebagai satu-satunya alat penentu kelulusan siswa. Rasa cemas, khawatir bercampur antara suka dan duka diantara siswa ketika sudah mengerjakan UN di hari terakhir. Rasa sukanya karena mereka sudah tidak perlu lagi belajar tiap malam untuk bisa mengerjakan soal, sudah tidak ada lagi beban di pundak mereka dan mereka sudah tidak berdaya lagi. Pasrah namun tetap tidak menyerah dan berharap harap cemas ketika menunggu hasil kelulusan.
Banyak cara yang dilakukan oleh sekolah dan siswa untuk mensiasati agar bisa lulus UN. Kesibukan yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam persiapan menghadapi UN ini dengan menambah jam pelajaran diluar jam sekolah (bimbel), bahkan bagi siswa yang tergolong dari keluarga yang beruntung, mereka mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, bahkan ada juga yang mengikuti les privat.
Karena mengejar target lulus UN ini mereka lupa nilai inti dari pendidikan itu sendiri. Ketika yang di ujikan itu hanya beberapa mata pelajaran saja, dan itupun cenderung pada ranah kognitif dan afektif saja. Padahal tujuan pendidikan itu sendiri adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bisakah kita menilai kadar iman dan taqwa seseorang melalui UN? Apakah akhlak mulia, sehat, kreatif dan mandiri diukur dengan mengerjakan soal multiple choice? Ijinkanlah saya untuk mengutip ungkapan dari Fredrick. J. Kelly. Pencipta ujian terstandar dengan multiple choice,”These tests are too crude to be used and should be abandoned” Sebuah model ujian yang terlalu sederhana untuk digunakan dan sebaiknya ditinggalkan”.
Selain itu, evaluasi pendidikan semestinya dilakukan secara komprehensif. Seseorang tidak bisa dikatakan cerdas jika hanya memiliki kecerdasan intelektual. Kecerdasan spiritual dan emosionalnya juga penting dinilai. Dalam konteks ini, evaluasi pendidikan harus menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. Melalui UN, hal itu sangatlah sulit untuk dilakukan. Apalagi padaUN ini hanya dilakukan untuk sebagian mata pelajaran saja.
Apabila ditinjau dari Aspek intelegensi jamak, maka intelgensi yang dimiliki oleh manusia itu bermacam-macam, bahkan Howard Gadrner menyatakan bahwa setiap orang memiliki kurang lebih 7-8 kecerdasan, hanya saja setiap orang akan berbeda mengenai kekuatan/kelebihannya, ada yang kuat di satu atau beberapa cabang intelegensi tapi tidak mungkin pandai disemua jenis intelegensi.
Boleh jadi seorang anak lemah dalam hal mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Matematika, tetapi mungkin saja dia sangat pandai dalam bidang olahraga seperti sepak bola, bulu tangkis dan olahraga lainnya, atau bisa juga sangat menguasai bidang kesenian yang nantinya bisa membantu kehidupan mereka kelak. Lalu mengapa pemerintah harus memaksakan keempat mata pelajaran tersebut yang dijadikan patokan untuk kelulusan dan mengabaikan bakat alamiah yang dimilkinya.