Kehidupan nelayan umumnya diwarnai kisah keprihatinan. Hasil tangkapan yang tidak menentu dan hutang yang melilit kerapkali menghantui kehidupan mereka. Tak adanya jaminan hasil yang melimpah merupakan salah satu pangkal permasalahan. Dengan peralatan yang umumnya masih sederhana, nelayan banyak menggantungkan pada alam dan nasib tentunya.
Namun kondisi nelayan di beberapa daerah sedikit berbeda. Sebagian mereka masih bisa mendapatkan hasil yang memadai bahkan terhitung besar hingga angka Rp 10 juta sebulan. Setidaknya begitulah kisah nelayan di Desa Lasar, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung.
Berbeda dengan daerah lain, sumber pendapatan nelayan di wilayah ini bukan hanya dari tangkapan ikan. Berburu rajungan atau ketam menurut istilah setempat, adalah salah satu sumber pendapatan utama. Harganya yang cukup mahal sekitar Rp 100 ribu per kg, menjadi salah satu pengepul dapur warga pesisir Belitung bagian selatan ini. Rata-rata dalam sehari di musim angin barat, nelayan pemburu ketam bisa memperoleh hasil antara 3-6 kg. Dengan harga Rp 100 ribu per kg, pendapatan kotor para nelayan mencapai Rp 300 ribu - Rp 600 ribu per hari. Pendapatan bersih tentu saja lebih rendah karena dikurangi biaya lain seperti biaya pengolahan berupa pembersihan dan pemasakan ketam. Namun dengan tenaga kerja sendiri bisa dikatakan biaya tersebut tidak seberapa.
Jika perolehan ketam dhitung rata-rata 3 kg per hari, maka para nelayan tersebut akan memperoleh pendapatan Rp 300 ribu. Dalam satu bulan, akumulasi pendapatan dapat mencapai Rp 9 juta. Asumsi ini termasuk pesimis. Jika per hari nelayan mendapatkan 4 kg ketam maka pendapatan per bulan akan mencapai 12 juta. Pendapatan yang layak dan seharusnya mencukupi.
Tetapi ternyata pendapatan yang cukup besar ini tidak serta merta membuat kualitas kehidupan nelayan meningkat. Masih ditemui anak-anak para nelayan drop out sekolah. Masih ditemui istri-istri nelayan mengambil kredit dari para rentenir dengan bunga tinggi. Kenapa bisa?
Ternyata ada beberapa faktor yang membuat kualitas kehidupan nelayan Belitung jalan di tempat meskipun pendapatan mereka tinggi. Faktor utama adalah ketidakmampuan para nelayan mengelola keuangan dengan baik. Dari sisi makan misalnya, sehari-hari para nelayan di Belitung dikenal biasa menyediakan rata-rata 5 macam hidangan di meja makan. Bandingkan dengan masyarakat umumnya yang rata-rata menyantap 2 sampai 3 hidangan. Seorang teman yang menetap 3 bulan di tengah-tengah kelompok ini sangat terkejut dengan kebiasaan tersebut. Menurut seorang teman lain yang telah tinggal di Belitung selama 10 tahun, kebiasaan ini juga dipraktekkan tidak hanya di pesisir tetapi juga kelompok masyarakat lain di Belitung.
Selain makanan, pengeluaran lain yang cukup besar adalah uang saku sekolah dan jajan anak-anak. Dalam sehari uang saku dan jajan anak-anak nelayan berkisar antara Rp 20 ribu, bahkan tak jarang mencapai Rp 5o ribu. Dalam sebulan, pengeluaran ini akan mencapai Rp1,5 juta rupiah. Belum lagi pengeluaran lain untuk membeli barang-barang sekunder lain seperti pakaian yang keluar tiap bulan.
Rendahnya kualitas kehidupan masyarakat salah satunya ditunjukkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Banyak anak-anak dari para nelayan yang berpenghasilan cukup tinggi tersebut drop out sekolah. Masalahnya bukan pada ketidaktersediaan biaya, tapi karena mereka lebih suka mencari ketam yang dalam sehari dapat menghasilkan uang sampai ratusan ribu rupiah.
Pendidikan belum dipandang sebagai sebuah investasi bagi kehidupan masa depan. Hasil yang melimpah membuat para nelayan merasa cukup puas. Padahal usaha berburu ketam tentu saja sangat tergantung alam. Ketika suatu saat nanti, alam tidak lagi menyediakan hasil yang cukup, dikuatirkan kelompok nelayan ini tidak akan memiliki bekal yang cukup untuk bersaing.
Parahnya lagi, banyak keluarga yang terjerat hutang dengan rentenir. Buganya tentu saja tinggi. Sayangnya mereka tidak menggunakan pinjaman tersebut untuk kebutuhan produktif tapi kebutuhan konsumtif. Alasannya pendapatan mereka tidak selalu tinggi. Ada kalanya karena cuaca, hasil ketam turun.
Penjelasan ini memang terdengar masuk akal. Tetapi seharusnya pada saat pendapatan tinggi, masyarakat dapat menyisihkan sebagian untuk ditabung. Kendala lain menghadang. Di wilayah desa ini bahkan kecamatan, tidak ada satupun kantor cabang bank. Bank terdekat berjarak 30km. Layanan keuangan yang ada hanyalah "koperasi" tempat para ibu-ibu meminjam uang. Koperasi ini sejatinya adalah kegiatan usaha pemodal pribadi untuk mengeruk untung dari absennya lembaga keuangan.