Kalau kita cermati, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain terus melemah dari waktu ke waktu. Bukan saja terhadap mata uang utama dollar Amerika Serikat (AS) tapi juga terhadap mata uang negara tetangga seperti dollar Singapura, ringgit Malaysia, juga baht Thailand. Di satu sisi, pelemahan nilai tukar rupiah akan memberikan keuntungan bagi ekspor berbagai produk primer seperti komoditas perkebunan dan pertambangan, tapi di sisi lain pelemahan rupiah juga akan merugikan berbagai industri dengan komponen bahan baku dan bahan penolong impor. Belum lagi bagi para pelancong atau pelajar Indonesia di luar negeri yang merasakan murahnya rupiah di luar negeri.
Secara umum pelemahan nilai tukar rupiah sangat dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran terhadap rupiah. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah aktivitas ekspor-impor serta pergerakan investasi dari dan ke luar negeri. Faktor lain yang sangat mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah adalah inflasi sebagaimana dijelaskan oleh teori paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP).
Menurut teori ini, inflasi saat ini dan perkiraan inflasi ke depan sangat mempengaruhi arah nilai tukar mata uang suatu negara. Negara dengan tingkat inflasi yang lebih tinggi akan mengalami pelemahan nilai tukar yang berkelanjutan.
Teori PPP menyatakan bahwa daya beli suatu mata uang akan sama dimanapun. Sebagai contoh, jika nilai tukar dollar AS adalah Rp10.000 maka daya beli satu dollar AS di Amerika Serikat dan Rp10.000 di Indonesia seharusnya sama. Kalau harga 1 paket burger McD di Amerika Serikat adalah $1 maka harga produk yang sama di Indonesia seharusnya adalah Rp10.000,-. Jika kemudian harga 1 paket McD di Indonesia naik menjadi Rp12.000 sedangkan harga di Amerika Serikat tetap $1 maka nilai tukar kedua negara seharusnya berubah. Satu dollar AS tidak lagi bernilai Rp10.000,- tetapi Rp12.000,-. Tentu saja dalam praktiknya, bukan kenaikan harga McD yang menjadi patokan tetapi kenaikan harga barang secara keseluruhan atau dikenal dengan istilah inflasi.
Jika inflasi di Indonesia adalah 6% sementara inflasi di Amerika Serikat adalah 1%, maka perbedaan tingkat inflasi di AS dan Indonesia adalah 5%. Menurut teori PPP, inflasi di Indonesia yang 5% lebih tinggi tersebut akan mendorong nilai tukar rupiah melemah sekitar 5%. Dalam kenyataannya, pelemahan nilai tukar rupiah tidak akan tepat 5% karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah selain inflasi. Bagaimana teori ini berlaku di Indonesia?
Untuk membuktikan keabsahan teori PPP, kita bisa membandingkan pergerakan nilai tukar rupiah riil dari waktu ke waktu dengan nilai tukar rupiah hasil perhitungan dengan teori PPP. Rumus untuk menghitung nilai tukar akibat perbedaan inflasi di kedua negara adalah dengan mengalikan nilai tukar rupiah periode sebelumnya dengan faktor perbedaan inflasi (1+perbedaan inflasi). Misalnya nilai tukar rupiah bulan lalu adalah Rp 10.000 per US$, sementara inflasi Indonesia bulan ini lebih tinggi 5% dari inflasi di AS, maka nilai tukar rupiah bulan ini berdasarkan rumus PPP secara sederhana adalah Rp 10.000 dikalikan faktor inflasi (1+5%). Hasilnya nilai tukar rupiah bulan ini adalah Rp10.500 per USD. Rumus akurat bisa dilihat di tautan ini.
Nilai tukar riil vs nilai tukar hasil rumus PPP
Grafik di atas memperlihatkan bahwa nilai tukar riil dan nilai tukar berdasarkan rumus PPP bergerak dalam arah yang sama dengan korelasi yang sangat kuat. Ini membuktikan bahwa teori PPP yang menyatakan bahwa inflasi akan mempengaruhi nilai tukar rupiah, berlaku di Indonesia. Apabila inflasi Indonesia lebih tinggi dari inflasi di AS maka nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan melemah.
Jika dicermati lebih lanjut, grafik di atas juga memperlihatkan bahwa rupiah terus melemah dari waktu ke waktu kecuali pada pertengahan tahun 2011. Data inflasi menunjukkan bahwa pada periode tersebut perbedaan inflasi di Indonesia dan AS adalah kurang dari 1%. Berdasar teori PPP jika inflasi di kedua negara sama maka nilai tukar rupiah kedua negara akan stabil.
Hal menarik lainnya dari hubungan inflasi dan nilai tukar di Indonesia selama kurun waktu 2010 sampai dengan 2014 adalah jika selisih inflasi antara Indonesia dan AS semakin besar, nilai tukar riil semakin berbeda dengan nilai tukar berdasar rumus PPP. Artinya saat perbedaan inflasi di AS dan Indonesia tidak terlalu besar seperti pada periode akhir 2011 dan awal 2012, nilai tukar riil tidak terlalu menyimpang dari nilai tukar berdasar rumus PPP. Sementara saat inflasi di kedua negara melebar seperti pada periode 2010-2011 dan 2013-2014, nilai tukar riil semakin menimpang dari nilai tukar berdasar rumus PPP. Hal ini bisa dimaklumi karena pada kenyataannya variabel yang mempengaruhi nilai tukar bukan hanya tingkat inflasi di kedua negara.
Saat perbedaan inflasi semakin besar, nilai tukar riil semakin menyimpang dari rumus PPP