Latar Belakang
Hari Guru 2024 menjadi momen penting untuk merefleksikan peran guru di tengah perubahan zaman. Kehadiran era digital telah membawa tantangan baru, termasuk dalam pola interaksi antara guru dan siswa. Teknologi membuka akses informasi tanpa batas, memungkinkan siswa untuk lebih mandiri dan kritis. Di sisi lain, hubungan hierarkis tradisional antara guru dan siswa perlahan memudar, digantikan oleh hubungan yang lebih egaliter. Fenomena guru milenial seringkali kita lihat agak kebablasan dalam menyikapi hubungan yang egaliter. Seringkali kita tidak bisa membedakan, apakah itu guru atau murid, disamping karena masih sama- sama muda, juga karena tingkah lakunya yang terkadang sulit dibedakan anatar guru dan murid, Apalgi mereka sering bermain tiktok bersama, berjoged atau berlenggak lenggok bersama siswanya.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah wibawa guru masih relevan dan perlu dijaga?
Kedekatan Guru dan Siswa di Era Digital
Interaksi antara guru dan siswa di era digital menjadi lebih fleksibel. Media sosial, aplikasi pembelajaran, dan platform komunikasi daring memungkinkan guru dan siswa berinteraksi lebih intens tanpa batasan ruang dan waktu. Hal ini memudahkan proses belajar-mengajar, tetapi juga menghadirkan risiko hubungan yang terlalu santai atau bahkan kehilangan batasan. Siswa seringkali tidak menghargai guru, menganggap sebagai teman bahkan menyepelekan guru mereka dalam beberapa situasi.
Kedekatan guru dengan siswa sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan nyaman. Dalam Kurikulum Merdeka, guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi, tetapi juga menjadi fasilitator yang membantu siswa menemukan potensi dan minat mereka. Untuk menjalankan peranan ini guru dituntu untuk bisa lebih dekat, terbuka dan akrab dnegan siswa. Namun, di tengah upaya adaptasi ini, guru tetap perlu menegakkan batasan dan prinsip. Pendekatan yang terlalu permisif tanpa arah justru dapat membuat siswa kehilangan pegangan. Oleh karena itu, tantangannya adalah menciptakan keseimbangan: tegas namun empatik, fleksibel namun berprinsip. Kedekatan ini tidak boleh mengorbankan rasa hormat yang menjadi fondasi hubungan guru dan siswa.
Dekat namun Segan: Perlunya Menjaga Wibawa Guru di Era Digital
Dalam tradisi pendidikan yang lama, wibawa guru sering diasosiasikan dengan ketegasan, bahkan otoritarianisme. Rasa takut pada guru kerap dianggap efektif untuk menanamkan disiplin. Namun, dalam konteks era milenial, pendekatan semacam ini tidak lagi relevan. Siswa yang hidup dalam budaya digital terbiasa mengakses informasi tanpa batas dan mempertanyakan otoritas. Mereka lebih responsif terhadap pendekatan yang melibatkan rasa hormat, keteladanan, dan keterbukaan.
Di sinilah letak perbedaan penting antara rasa segan dan takut. Segan adalah bentuk penghormatan yang muncul dari kekaguman dan kepercayaan, sementara takut lebih banyak bersandar pada tekanan dan kekhawatiran akan hukuman. Guru yang dihormati karena kepribadian dan kompetensinya mampu menumbuhkan rasa segan pada siswa. Sebaliknya, rasa takut cenderung membatasi ruang dialog, membangun dinding, dan berpotensi menghambat pembelajaran yang bermakna.
Wibawa guru tidak hanya soal otoritas, tetapi juga tentang penghormatan yang lahir dari kepribadian, kompetensi, dan integritas. Di era digital, menjaga wibawa berarti menyeimbangkan pendekatan yang dekat dengan siswa tanpa kehilangan peran sebagai pemimpin dalam pembelajaran. Guru yang hanya mencoba "menyesuaikan diri" dengan budaya siswa tanpa mempertahankan integritasnya berisiko kehilangan pengaruh positif di mata siswa.