FAO sebagai organisasi pangan dunia, sejak tahun 2001 telah mencanangkan peringatan Hari Susu Dunia pada setiap tanggal 1 Juni. Kegiatan perayaannya dilakukan secara serempak di seluruh belahan dunia seperti di berbagai negara Eropah, Amerika, Asia dan Negara-negara maju lainnya.
Sedangkan di Indonesia, penetapan Hari Susu Dunia baru dilaksanakan pada tahun 2009 dengan nama Hari Susu Nusantara (HSN). Hal ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri pertanian RI. No. 2182/KPTS/PD.420/5/2009.
Sejak peringatan HSN pada 17 tahun silam, ternyata perjalanan industri persusuan nasional belum memberikan dampak terhadap pengembangan usahaternak sapi perah rakyat sebagai produsen Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) bahkan cenderung lebih memprihatinkan. Sejalan dengan pendapat Ketua Dewan Persusuan Nasional (2018) bahwa Indonesia akan mengalami darurat SSDN pada tahun 2020. Kemampuan produksi SSDN diprediksi hanya mampu memenuhi 10% dari kebutuhan nasional, sisanya dipenuhi oleh impor. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, maka ketergantungan terhadap produk susu impor akan semakin membesar.
Seperti diketahui bahwa Indonesia pernah mencatat produksi SSDN sebanyak 50 % dari total kebutuhan nasional pada era tahun 1990'an, sedangkan 50 % sisanya dipenuhi dari impor. Suasana persusuan yang kondusif kala itu karena adanya instrumen perlindungan terhadap SSDN dengan adanya Inpres (Instruksi Presiden) No. 2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional.
Aturan tersebut secara nyata membuat suasana bisnis persusuan nasional bergairah. Pada saat krisis ekonomi di tahun 1997, dalam rangka merecovery perekonomian Indonesia, telah ditandatangani Letter of Intent (LOI) antara IMF (International Monetary Fund) dengan Pemerintah Indonesia di akhir 1997. Akibatnya, Inpres No. 2 tentang persusuan pun dicabut karena dinilai tidak sesuai dengan LOI tersebut.
Dampaknya, dirasakan hingga kini. Kondisi peternakan rakyat dihadapkan pada persaingan bebas tanpa proteksi. Ketidak-siapan peternak sapi perah rakyat ditambah tanpa adanya kepedulian pemerintah telah menyebabkan bisnis ini kian meredup.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketua Umum GKSI (2017) bahwa dalam empat tahun terakhir jumlah populasi sapi perah di Indonesia terus turun. Sampai 2016, jumlah populasi sapi perah tercatat 291.183 ekor, jauh berkurang dibandingkan 2013 sebanyak 438.745 ekor. Angka ini juga sejalan dengan penurunan jumlah peternak di Indonesia. Pada 2016, jumlah peternak yang tergabung dalam koperasi mencapai 96.355 orang, turun dibandingkan 2013 sebanyak 102.726 orang tercatat sebagai anggota koperasi pada 95 unit primer koperasi persusuan.
Tuntutan Peternakan
Berdasarkan pada fenomena tersebut, sesungguhnya bahwa potensi peternakan sapi perah rakyat masih sangat mungkin ditingkatkan perannya untuk berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi susu nasional. Hal ini dapat dilakukan jika saja pemerintah mengeluarakan kebijakan yang diperlukan atas tuntutan kebutuhan bagi pengembangan peternakan rakyat sebagai berikut:
Berdasarkan pengalaman sebelum krisis ekonomi tahun 1997, maka diharapkan Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) tentang persusuan nasional.
Bukannya hanya kebijakan sektoral, dalam bentuk kebijakan kementrian pertanian. Pasalnya membangun industri peternakan sapi perah rakyat, tidak mungkin hanya dilakukan oleh kementrian pertanian saja. Pembangunan persusuan sejatinya harus melibatkan lintas kementrian yaitu Kementrian Pertanian, Koperasi dan UKM, Perdagangan dan Kementrian Perindustrian.