Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan suci ramadhan, pemerintah mulai rajin melakukan kampanye memasarkan daging murah, di tengah-tengah masyarakat berpenghasilan cukup di arena CRF di Jakarta, Bogor dan Bandung. Apakah kegiatan ini mampu meredam gejolak harga dan menurunkan harga daging sapi di Jabodetabek? Selain itu, pemerintah telah memerintahkan BUMN untuk mempersiapkan impor daging sapi dari negara-negara eksportir daging terkenal bahkan juga dari negara yang belum bebas PMK. Apakah seluruh kegiatan yang dilakukan pemerintah ini akan mampu menurunkan harga daging sapi seperti harapan Jokowi menjadi dibawah Rp. 80 ribu per kilogram pada saat Bulan Suci Ramadhan dan Lebaran tahun ini??
Gagal Swasembada
Sejak swasembada daging sapi dinyatakan gagal oleh Mentri Pertanian Suswono, diakhir masa jabatannya kemelut daging sapi tidak berhenti sampai sekarang. Suswono menyadari, bahwa kegagalan swasembada daging sapi karena ‘salah hitung’. Maksudnya adalah bahwa kegagalan tersebut penyebab utamanya adalah data yang tidak akurat, walaupun BPS telah melaksanakan dua kali sensus mengenai sapi dan kerbau pada tahun 2011 dan 2013 untuk meyakinkan pemerintah.
Setahun terakhir di era Jokowi, lagi-lagi kemelut ini berlanjut. Mentan Amran Sulaeman meyakini bahwa karut marut ini penyebabnya adalah ‘para mafia daging sapi’ yang disangkakan kepada para pengusaha penggemukan sapi potong impor. Para pengusaha ini disatroni bareskrim ke kandangnya, layaknya teroris. Namun, bareskrim tidak menemukan apa-apa di kandang tersebut. Di ujung akhir dari sangkaan tersebut, para pengusaha ini menjadi terlapor di KPPU, mereka disangka melakukan pola perdagangan kartel daging sapi. Selama hampir empat bulan dipersidangan, KPPU menjatuhkan sanksi denda dan dinyatakan bahwa 32 perusahaan tersebut dengan sangat meyakinkan telah melakukan kartel dan mereka didenda sebesar Rp.106 Milyar. Sanksi KPPU ini pun masih dipertanyakan, dan langsung para pengusaha ini akan melakukan upaya hukum, melalui banding ke pengadilan negeri dan tinggi.
Ranah Hukum
Kini kemelut daging sapi masuk ke babak baru, yaitu episode di ‘ranah hukum’. Pasalnya, ternyata karut marut peternakan sapi potong, yang melibatkan ternak sapi dan produknya daging sapi, juga harganya yang tidak kunjung turun. Ternyata setelah penulis telusuri, salah satu inti masalahnya berada pada tatanan dasar bagi aktivitas pembangunan peternakan, yaitu perundangannya; UU no. 18/2009 yang direvisi menjadi UU No.41/2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan (PKH).
Sejak diundangkannya UU No. 18/2009 tentang PKH pada tanggal 4 Juni 2009 oleh presiden SBY hingga kini, telah dilakukan empat kali uji materi oleh masyarakat di Mahkamah Konstitusi (MK). Pertama, mengenai zona base, otoritas veteriner dan kewenangan kedokteran hewan, yang diajukan oleh kelompok masyarakat seperti para dokter hewan, koperasi persusuan dan para peternak sapi. Kedua, mengenai sertifikasi halal yang diajukan oleh, asosiasi produsen makanan dan minimuman; ketiga, mengenai zona base yang diajukan oleh masyarakat dan koperasi persusuan (GKSI) dan keempat adalah mengenai integrasi bisnis perunggasan, yang diajukan oleh kelompok masyarakat perunggasan.
Pengajuan uji materi yang dilakukan masyarakat terhadap UU No. 18/2009 jo UU No. 41/2014 ke MK, merupakan bukti bahwa UU tersebut belum mampu menjawab masalah pembangunan peternakan. Sejatinya suatu undang-undang harus mampu memberikan suasana iklim kondusif bagi tumbuh kembangnya pembangunan, setidaknya untuk 20 tahun.
Fenomena tersebut, sesungguhnya merupakan manifestasi masalah mendasar dalam pembangunan peternakan khususnya sapi potong, selain data yang tidak akurat yaitu tidak diimplementasikannya otoritas veteriner. Dalam UU No. 18/2009 tentang PKH bab VII tentang otoritas veteriner dimana dalam bab ini mengamanatkan bahwa pemerintah harus membuat sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) yang hingga kini belum ada. Siskeswanas adalah tatanan unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas yang berlaku secara nasional.
Belum adanya siskeswanas menyebabkan tidak adanya atau belum berjalannya otoritas veteriner yang sesuai dengan harapan masyarakat khususnya peternak di negeri ini, yang berakibat luas terhadap lemahnya perlindungan masyarakat veteriner.
Otoritas veteriner