Lihat ke Halaman Asli

Gejolak Harga Daging Sapi (kompas tgl 15 agustus 2015)

Diperbarui: 15 Agustus 2015   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Fluktuasi harga daging sapi dalam satu dekade terakhir tak kunjung henti, utamanya disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kontroversial tidak dibarengi data yang akurat. Pada bulan Agustus tahun ini, fenomena gejolak harga daging sapi berulang kembali tepatnya seperti yang terjadi di tahun 2012 lalu. Penyebab dan fenomenanya pun relatif sama, di tahun 2011 menurut hasil sensus Pendataan Sapi dan Kerbau yang dilaksanakan oleh BPS menyebutkan bahwa populasi ternak sapi berjumlah 14,8 juta ekor. Sedangkan menurut ‘cetak biru’ swasembada daging sapi, bahwa apabila populasi sapi telah mencapai 14,2 juta ekor berarti swasembada daging sapi telah dicapai. Hasil sensus tersebut, telah dijadikan dasar ditahun 2012 untuk menurunkan kuota impor daging dan sapi dari 53% menjadi 17,5%. Dampak yang terjadi sebagai akibat kebijakan ini, tampak bahwa harga daging sapi melambung tinggi dari Rp. 70 ribuan menjadi Rp. 90 – 100 ribuan per kilogram. Kasus yang sama terjadi kembali di tahun 2015 ini, tatkala terjadi perubahan kepemimpinan di kementrian pertanian, telah disepakati bahwa importasi ternak sapi dibagi kedalam empat triwulan dalam setahun, sedangkan daging sapi dibebaskan tanpa kuota impor. Kesepakatan tersebut, telah ditandatangani oleh masing-masing pengusaha penggemukan sapi potong untuk direalisasikan. Di triwulan ke satu dan dua ternyata para pengusaha feedlot tidak mampu memenuhi target impor yang dimintanya dalam jumlah dan kesepakatan harga. Hal ini sebenarnya dapat difahami bahwa dampak perubahan yang drastis ditahun 2012 lalu belum mampu memberikan iklim kondusif dalam penentuan harga dan volume impor. Walaupun pemerintah telah menggelontorkan sapi siap potong sebanyak 29.000 ekor dan 1000 ton daging melalui BUMN (PT Berdikari). Kenyataan ini lah yang membuat, kementan merubah kebijakan dengan memangkas quota impor sapi bakalan di triwulan ketiga dari 250 ribu ekor menjadi 50 ribu ekor.

Seperti diketahui, bahwa Jabodetabek merupakan wilayah konsumen daging sapi nasional, yang sebagian besar (98%) dipenuhi oleh sapi impor. Pemangkasan kuota impor ini serta merta memberikan dampak terhadap ketersediaan daging dipasar tradisional di wilayah ini. Secara otomatis dengan rendahnya pasokan sapi impor ini, akan meningkatkan harga daging di pasar tanpa kendali. Dalam kasus kali ini, tampaknya pemerintah sangat panik, sehingga tanpa lagi melihat berbagai rambu-rambu kebijakan yang ada sepertinya semua ‘menjadi halal’ dilakukan. Katakanlah, sejak pemerintah mengeluarkan izin impor sapi siap potong menjelang lebaran lalu dengan harapan harga daging sapi akan turun. Namun realitanya, harga daging masih tetap tidak berubah untuk turun bahkan terus meningkat tajam menembus angka Rp. 130.000,00/kg. Pada kondisi seperti ini, para pedagang daging akhirnya ‘melempar anduk putih’ untuk melakukan demo tidak berdagang daging sapi. Sebenarnya demo yang dilakukan pedagang daging sapi ini,  lebih disebabkan karena kerugian usaha yang tidak mungkin dilanjutkannya usaha mereka .

Di posisi seperti ini, telah mendorong pemerintah dengan “kekuasaan yang dimilikinya” mengambil kebijakan yang sangat kontroversial. Pertama, memberikan izin impor kepada “Bulog” berupa sapi siap potong. Kebijakan ini jelas-jelas melanggar UU. No. 41/2014  pasal 36B ayat 2, dinyatakan bahwa pemasukan ternak ke dalam negeri harus merupakan bakalan, bukannya sapi siap potong. Kedua; momentum demo yang dilakukan pedagang daging digunakan oleh Bulog untuk memasarkan stok  1000 ton daging yang sudah disiapkan sejak lebaran lalu. Sebenarnya peredaran daging impor ini hanya diperuntukan bagi industri prosesing daging sapi, bukannya diperuntukan bagi konsumen langsung.

Sebagaimana kita ketahui bersama pula bahwa sistem penggemukan sapi potong telah diatur oleh UU No. 41/2014 tentang PKH bahwa lamanya penggemukan minimal 120 hari, hal ini bermakna bahwa usaha penggemukan ini akan memberikan nilai tambah sebesar-besarnya bagi negeri ini. Nilai tambah tersebut, berupa; pupuk, kaki, kulit, kepala, tanduk, lemak, darah dan lainnya. Nilai tambah ini akan memberikan pertumbuhan ekonomi bagi sektor lainnya seperti sektor pertanian, pariwisata, ketenaga kerjaan dsb. Jika saja pemerintah dengan kekuasaan mengambil keputusan tidak tepat dengan memasukan atau melakukan importasi ‘daging sapi’ sebagai pemecahan masalah dari negara-negara yang masih bermasalah dengan penyakit hewan menular. Maka, kita akan masuk kepada kondisi keterperangkan pangan (food trap) dan juga akan merapuhkan tatanan ekonomi perdesaan, karena sumber faktor ekonomi masyarakat berupa ternak akan hilang dari kehidupan perdesaan kita. Kondisi seperti ini, yang dikhawatirkan akan berlanjut kepada sistem ekonomi secara meluas. Hal ini didasarkan kepada hasil kajian IRSA (Indonesia Riset Strategi Analisis, 2009) yang menyatakan bahwa daging sapi memiliki keterkaitan terhadap 120 sektor ekonomi ke hulu maupun ke hillir, dan memiliki daya ungkit pengganda secara ekonomi tertinggi dibandingkan  dengan 175 sektor lainnya. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa industri peternakan sapi potong cukup berarti bahkan memiliki potensi yang tinggi untuk menciptakan pengganda output dalam perekonomian nasional. Dengan kata lain, bagi Indonesia mempertahankan bahkan pengembangan industri peternakan sapi potong perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dan memerlukan kondisi yang kondusif bagi perkembangan sektor ini.

Oleh karenanya, dalam mengatasi kemelut ini perlunya kebijakan yang mampu memberikan dampak positif terhadap pembangunan nasional, tidak melanggar peraturan yang ada dan dapat dengan segera dirasakan hasilnya. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat memberikan ‘dispensasi’ bagi para pengusaha penggemukan (feedloter) untuk menggelontorkan sapi-sapinya yang ada di kandang dengan memberikan insentif berupa penetapan izin impor selama tahun 2015. Dalam jangka panjang Pemerintah harus mampu menguasai stok sapi potong yang berada di BUMN, dengan membenahi sistem breeding dan infrastrukturnya.        




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline