Lihat ke Halaman Asli

Bandung Perlu Pusat Bisnis Daging

Diperbarui: 13 September 2015   06:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sekira 2,4 juta penduduk kota Bandung saat ini, ditambah dengan mobilitas penduduk di sekitar Bandung raya, sehingga jumlah orang yang hilir mudik cari makan di kota Bandung sekira 3,5 juta orang setiap harinya. Jumlah penduduk ini, merupakan peluang bagi pembangunan peternakan, tapi sekaligus merupakan ancaman jika Pemerintah Kota tidak mampu memberikan pelayanan kepada warganya. Selama ini, Jawa Barat khusunya kawasan Bandung Raya dikenal sebagai salah satu pusat konsumsi terbesar akan daging sapi nasional.  Jumlah sapi yang dipotong di Bandung raya  sebanyak 300 – 400 ekor setiap harinya atau sekitar 120ribuan ekor setahun.  Kontribusi sapi impor mencapai 35 % di tahun 2013, namun nyatanya ditahun 2014 kontribusi sapi impor akan mencapai sekurang-kurangnya 90 %. Jika harga seekor sapi Rp. 10 juta, maka omzet usaha di RPH sekira 1,2 trilyun rupiah per tahun. Jumlah ini, merupakan bisnis yang fantastis dan luar biasa besarnya. Namun demikian, Pemerintah   masih belum tertarik untuk membenahi bisnis ini, terbukti dengan kondisi RPH Pemerintah yang ada tidak memenuhi syarat SNI, terutama dari sisi manajemen dan pengawasan kesehatan veteriner.

Saat ini, kota Bandung memiliki enam Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yaitu; Ciroyom, Cirangrang, Virgo, Cijawura, dan Regol. Perkembangan RPH di Kota ini dari tahun ke tahun sangat memprihatinkan, khususnya bagi pelestarian lingkungan. Pada awal didirikannya, setiap RPH berada di luar jangkauan pemukiman, tapi saat ini semua RPH tersebut berada di tengah-tengah pemukiman. Gejolak protes seringkali terjadi dari masyarakat sekitar, karena bau dari pembuangan limbah serta pencemaran terhadap sumber air tanah. Kondisi seperti ini, sebenarnya sudah tidak mungkin lagi dipertahankan untuk kelayakan opersionalnya RPH yang ada. Bisa dibayangkan limbah pemotongan ternak dibuang langsung ke sungai tidak melalui proses pengolahan limbah di kawasan RPH, apa yang terjadi kemudian ? yaitu, telah terjadi pencemaran sungai di Jabar yang berasal dari limbah RPH, cukup memprihatinkan.

Masih segar dalam ingatan kita, yaitu penayangan kekejaman RPH di Indonesia oleh TV ABC pada acara Four Corners pada tanggal 30/5/2011. Dari penayangan tersebut disimpulkan bahwa orang-orang Indonesia ternyata sangat ‘bengis dan sadis’ serta tidak lagi memiliki norma “kesejahteraan hewan”.  Padahal, secara logika akal sehat seharusnya tayangan tersebut tidak mungkin terjadi di RPH Indonesia, dimana masyarakatnya yang relegius dan memiliki konsep “ASUH” (aman, sehat, utuh dan halal) dalam pemotongan ternak. Namun, faktanya kebengisan yang terjadi tidak terbantahkan ditunjukkan dalam tayangan itu. Dampak dari penayangan tersebut, pihak Australia telah mengharuskan setiap sapi impor yang masuk ke Indonesia harus terekam datanya dalam National Livestock Identification System (NLIS). Sapi impor dari Australia tersebut diberi penanda elektronik (chips) di telinganya, kemudian dipindai sehingga terdaftar dalam sistem komputer. Dengan cara ini, eksportir di Australia bisa memastikan tak akan ada lagi sapi dari Australia yang dibawa keluar dari RPH  yang sudah ditentukan, yaitu RPH ESCAS (Exporter Supply Chain Assurance System). Sungguh diluar dugaan, hanya dalam beberapa tahun saja telah terjadi revolusi penggunaan alat pemingsan dan “restraining box” secara masif dilakukan oleh tidak kurang dari 50 RPH di negeri ini.

Namun demikian, walau restraining box telah telah digunakan untuk sapi impor, ternyata hampir di semua RPH di Kota Bandung tidak dilengkapi dengan proses pengolahan limbah seperti yang disyaratkan, kalaupun ada sudah tidak berfungsi atau tidak digunakan. Selain itu, proses pemotongan bagi sapi lokal masih tidak menggunakan prosedure yang berkesejahteraan hewan. Sapi yang akan dipotong, tidak diperlakukan sebagaimana mestinya sehingga daging yang dihasilkan,  berkualitas rendah. Padahal penggunaan alat pemotongan ternak model RPH ESCAS tersebut seyogyanya diberlakukan pula bagi ternak lokal tanpa kecuali.

Upaya memberikan perlindungan dan keamanan terhadap konsumen kota Bandung yang dicanangkan sebagai kota wisata dunia, perlu segera diwujudkan keberadaan pusat kawasan perdagangan daging yang bukan hanya sekedar tempat pemotongan hewan atau bisnis jasa saja.  Kawasan RPH tersebut merupakan industri prosesing daging yang menguntungkan dan mampu memberikan pelayanan, perlindungan serta keamanan pangan bagi masyarakat dengan produk yang halal, aman, utuh dan sehat. Atas dasar ini, aktivitas pusat bisnis daging sapi merupakan industri prosesing daging yang menghasilkan potongan-potongan daging berkualitas dan by productnya antara lain seperti kulit, darah, lemak, tulang dan jeroan. Selain itu juga, ditempat ini dapat dilakukan prosesing daging (baso, sosis, corned dsb) serta prosesing by product (prosesing kulit, lemak, darah dsb).

Pada kondisi saat ini telah terjadi “missing link” antara industri prosesing daging sapi dengan RPH. Selama ini industri prosesing daging membutuhkan bahan baku yang tidak mampu diproduksi oleh RPH didalam negeri. Oleh karenanya, model RPH ini akan mampu menjawab hal tersebut dengan mengintegrasikannya dengan industri prosesing daging. Selain sebagai pusat kegiatan perdagingan,  di area ini terdapat pula pusat perkantoran para pengusaha daging, pergudangan, tempat perdagangan grosir dan  kegiatan lembaga keuangan. Keseluruhan aktivitas tersebut, selama ini dilakukan terpencar, tersebar di pasar-pasar bahkan di rumah-rumah di tengah permukiman. Salah satu dampaknya telah fluktuasi harga daging yang terjadi tidak berkesudahaan, karena sistem bisnisnya tidak tertata.

Sudah menjadi tuntutan bahwa Jawa Barat khususnya Kota Bandung sebagai pusat konsumen harus mampu membangun pusat bisnis daging sapi ini. Melalui sistem ini, akan tercipta RPH sebagai pusat bisnis daging yang sesungguhnya, bukannya suatu bisnis jasa pemotongan yang kumuh seperti yang kita saksikan saat ini.  Jika saja pemerintah kota Bandung menerapkan retribusi pemotongan sapi sebesar Rp. 30.000,00 per ekor maka setahun akan diperoleh tidak kurang dari Rp. 3 milyar. Sehingga RPH dapat pula diandalkan sebagai sumber PAD yang handal, perlindungan konsumen dan sebagai alat bagi terciptanya stabilisasi harga daging. Bisnis ini tentunya juga akan sangat menguntungkan bagi para pelakunya, lantaran telah terjadi kerjasama tertutup yang memiliki jaminan dan  kepastian berusaha…..semoga

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline