Opini Prof. Kusumo Diwyanto dengan judul ‘andai Australia Melakukan Embargo’ pada harian Kompas hari Jumat 27 Februari 2015 perlu dikritisi, mengingat logika pemikirannya seolah “Australia akan” melakukan embargo eksport ternak sapinya ke Indonesia, padahal menurut hemat penulis logikanya; Australia (tidak) mungkin melakukan embargo. Pasalnya, menurut Meat Livestock Autralia (2015) bahwa ditahun 2014 Australia telah mengekspor ternak sapinya sebanyak 1,29 juta ekor senilai 1,05 Milyar AUD atau sekitar Rp. 10 Trilyun. Sementara itu, Indonesia masih menjadi importir ternak sapi terbesar bagi Australia, yaitu sekitar 730 ribu ekor (56,59%) dari total eksport ternak Sapi Australia atau senilai sekitar Rp. 6 Trilyun. Posisi importir terbesar kedua adalah Vietnam, yang melaju pesat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sekitar 181,5 ribu ekor (14,07%) dan importir terbesar ketiga adalah China sekitar 117,9 ribu ekor (9,14%). Pada posisi seperti ini, jika saja persoalan ’bali nine’ dijadikan dasar pemikiran bagi PM Tonny Abbot untuk melakukan embargo eksport ternak sapi ke Indonesia di tahun ini, rasa-rasanya sangat tidak mungkin. Sebab, resiko yang akan dihadapi Australia adalah kerugian usaha sekitar 0,55 Milyar AUD yang akan dialami peternak didalam negerinya. Namun demikian, yang harus diwaspadai sebenarnya adalah perkembangan perekonomian China dan Vietnam yang spektakuler dalam bisnis import ternak dari Australia. Jika saja, protokol perdagangan bilateral antara Australia-China ditandatangani pada tahun ini, tidak mustahil di tahun-tahun mendatang eksport ternak sapi akan menggelontor dari Australia ke negeri panda tersebut, dan akan melupakan eksport ternak sapinya ke Indonesia. Peta kondisi ini, yang tidak diwanti-wanti oleh Prof. Kusumo Diwyanto dalam opininya. Jadi dalam beberapa tahun mendatang kita akan menghadapi situasi dan kondisi yang super sulit dalam kerangka menghadapi ketersediaan daging sapi nasional, jika pembangunan peternakan tidak segera dibenahi. Sebenarnya, ada atau tidak adanya embargo eksport sapi dari pemerintah Australia terhadap Indonesia, pembenahan pembangunan peternakan sapi tetap harus menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian, jika kita ingin berdaulat atas produksi daging sapi domestik.
Benar, apa yang diutarakan Prof. Kusumo Diwyanto, bahwa merubah paradigma lama dengan memindahkan sentra produksi sapi dari wilayah-wilayah sumber produksi yang selama ini dikenal berada di Indonesia Timur ke wilayah sentra perkebunan sawit, melalui konsep sapi-sawit. Namun yang tidak dibahas oleh Prof. Kusumo Diwyanto, bahwa membangun peternakan sapi potong yang paling utama dan pertama adalah melakukan pembenahan industri hilirnya, yaitu industri prosesing daging sapi. Sebab Industri hilir ini yang akan mampu menghela dan memberikan pergerakan peningkatan produksi peternakan sapi/kerbau di subsistem budidaya di negeri ini. Menurut hemat penulis, peningkatan produksi dan populasi sapi/kerbau di dalam negeri, tanpa diikuti perubahan di subsistem hilir tidak akan tercipta ketersediaan daging yang terjangkau oleh konsumen dengan kondisi peternaknya yang sejahtera.
Berdasarkan fenomena yang terjadi selama ini, sebenarnya akar masalah yang harus dibenahi dalam kerangka memenuhi kebutuhan akan daging sapi nasional adalah ‘struktur pohon industrinya’ yang tidak didisain berbasis sumberdaya lokal. Dengan kata lain ‘pohon industri’ yang dibangun tidak atas kedaulatan produksi domestik dan hanya tergantung terhadap bahan baku impor. Jika kita lihat, hampir seluruh industri hilir yang berbahan baku daging sapi, dibangun dan didisain tergantung terhadap bahan baku impor. Katakanlah, industri-industri skala besar dengan pangsa pasar diatas 50 % dari pasar daging sapi seperti pabrik sosis, bakso, nuget, corned dan lainnya memerlukan bahan baku daging sapi dengan kualitas rendah yang diproduksi oleh Rumah Potong Hewan (RPH) bagi industri misalnya FQ CL 85. Produk ini hanya bisa diperoleh dari RPH yang berstandarisasi dengan pola ‘cold chain’. Sementara ini, kita ketahui bahwa pola rantai pasok daging sapi di dalam negeri masih menggunakan ‘hot chain’. Kondisi inilah pangkal persoalan pokoknya di industri hilir yang paling berpengaruh terhadap konsumen dan fluktuasi harga daging sapi, yang selama ini tidak disentuh pemerintah dan juga dalam opini Prof. kusumo Diwyanto. Menurut hemat penulis, sepanjang struktur ‘pohon industri ini’ tidak dirobah atau diintervensi oleh pemerintah, akan sangat sulit terciptanya kedaulatan pangan asal daging sapi yang dicita-citakan untuk direalisasikan di negeri ini.
Pertanyaannya, mengapa industri prosesing daging sapi dan kerbau di negeri ini menggunakan pola rantai pasok ‘hot chain’? hal ini erat kaitannya dengan kebiasaan atau budaya masyarakat kita, dimana pola konsumsinya lebih menyukai ‘daging segar’. Sehingga sebagian besar, lebih dari 90 % RPH bekerja dimalam hari. Karena para para jagal dan pedagang daging sapi akan mendistribusikan daging produksi RPH tersebut kepada konsumen di pagi harinya. Sementara itu, RPH tidak pernah diarahkan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Industri prosesing daging sapi, yang memerlukan bahan baku dalam bentuk daging olahan yang relatif murah, berasal dari sisa produksi utamanya. Pasalnya, RPH menurut UU No. 41/2014 hanya merupakan tempat pemotongan hewan, bukannya industri prosesing daging sapi. Pada kasus ini, sebaiknya dan tidak ada jalan lain pemerintah harus melakukan intervensi merubah paradigma RPH yang semula fungsinya sebagai jasa pemotongan menjadi industri prosesing daging. Selain itu, perlunya melibatkan industri prosesing daging sapi dalam melakukan revitalisasi RPH di sentra-sentra konsumen daging sapi. Hal ini disebabkan, produk hasil ikutan RPH yang digunakan untuk bahan baku industri berada di wilayah ini. Kiranya opini ini, akan melengkapi pemikiran Prof. Kusumo Diwyanto dan menginspirasi para penentu kebijakan, agar kedaulatan pangan protein hewani asal daging sapi dapat terwujud….semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H