Lihat ke Halaman Asli

Realitas Kebenaran

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bertanya tentang kebenaran dan berusaha mencari jawabannya bukanlah sesuatu yang membutuhkan waktu yang singkat. Pertanyaannya akan membawa ke pertanyaan-pertanyaan lain, dan itu tidak akan ada habisnya. Seperti yang dikatakan oleh Kierkegaard, “kebenaran adalah perangkap dan kau tidak bisa memperolehnya tanpa terjerat”, berbicara perihal kebenaran telah membuat saya seperti terjebak dalam labirin yang tak berpintu keluar.
Saya beranggapan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang relatif sifatnya. Semua hal bisa dianggap benar atau sebaliknya tergantung dari sudut pandang pengamat.
Salah satu cara sederhana memelajari suatu hal adalah menentukan segala sesuatu ke dalam golongan benar atau tidak benar, termasuk ketika menilai sebuah pernyataan, pemikiran, kepercayaan, kata-kata, ataupun perbuatan seseorang. Terkadang kita melihat suatu hal dan menilainya sebagai sesuatu yang tidak benar hanya karena hal tersebut tidak sesuai dengan kita, atau kadang kita memaksakan suatu hal untuk dinilai sebagai benar karena hal tersebut sesuai dengan kita.
Semakin kesini saya semakin yakin bahwa suatu kebenaran adalah pemikiran yang membuahkan keyakinan tanpa keraguan. Oleh sebab setiap orang terkadang mempunyai pemikiran yang tidak sama, maka kebenaran bagi seseorang belum tentu menjadi benar bagi orang-orang lainnya.
Ketidaksepahaman bagi sebagian orang lainnya disebabkan karena perbedaan cara berpikir dan cara menarik kesimpulan.
Bagi mereka yang berpikir secara rasional, sebuah kebenaran akan ditujukan untuk suatu hal yang dilakukan secara rasional dan logis, dan sebuah kebenaran tidak akan pernah ditujukan untuk suatu hal yang bersifat tidak logis.
Selain itu ada pula seserang yang berpikir bahwa kebenaran adalah suatu hal yang ditunjukkan oleh fakta yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa yang ada adalah benar adanya, dan yang tidak ada adalah benar tidak adanya. Maka suatu hal dirasa benar apabila suatu hal tersebut sesuai dengan fakta/realita yang diterima oleh panca inderanya dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan dua hal diatas, ada pula seseorang yang meyakini kebenaran adalah berdasarkan intuisinya. Kebenaran berdasarkan intuisi bersifat sangatlah pribadi sehingga terkadang sulit diterima oleh khalayak umum.
Karena kebenaran adalah sebuah keyakinan, maka kebenaran seseorang dalam meyakini sesuatu tidak akan pernah sama dengan orang lain, terlebih apabila berbeda dalam cara berpikir. Dan oleh sebab itu, sebagai manusia sebaiknya tidak memaksakan sesuatu yang dirasa benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline