Lihat ke Halaman Asli

Tablet Berbumbu Agama, Ilusi Pilihan dalam Pasar Keyakinan

Diperbarui: 20 November 2024   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan berbagai fenomena yang menunjukkan betapa agama dapat dijadikan komoditas di Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah munculnya produk-produk yang mengklaim memiliki nilai spiritual atau edukatif, namun sebenarnya lebih berfokus pada keuntungan finansial si penjual semata. 

Penjualan agama di Indonesia tampaknya semakin meluas, dengan contoh terbaru yaitu tablet berbumbu agama. Produk ini menawarkan spesifikasi yang sangat rendah dan harga yang tidak sebanding dengan kualitasnya, menimbulkan pertanyaan tentang etika di balik pemasaran semacam ini.

Tablet tersebut dijual dengan harga 2,5 juta rupiah dan memiliki dua varian, di mana varian kedua dibanderol dengan harga 1,5 juta rupiah, tetapi dengan spesifikasi yang sama persis. Hal ini menunjukkan bahwa penjual hanya berusaha bermain-main dengan harga untuk menciptakan ilusi pilihan. 

Prosesor yang digunakan adalah MediaTek MT6735, yang sudah ketinggalan zaman dan tidak layak untuk kebutuhan saat ini. Dengan empat core Cortex A53, tablet ini jelas tidak mampu memenuhi tuntutan aplikasi modern, terutama jika dibandingkan dengan arsitektur prosesor yang lebih baru seperti Cortex A55.

Fokus utama dari tablet ini adalah aplikasi edukasi agama yang ditawarkan kepada pengguna. Namun, ironisnya, aplikasi tersebut tersedia secara gratis di Play Store. Bahkan wallpaper bawaan tab ini hanya dibuat bermodalkan mengetikkan prompt singkat (dibaca: AI). 

Ini menimbulkan pertanyaan: apakah produsen benar-benar peduli terhadap pendidikan agama atau hanya mencari keuntungan semata? Penjualan produk semacam ini menciptakan kesan bahwa nilai-nilai spiritual telah diperdagangkan demi keuntungan finansial, dan hal ini sangat disayangkan.

Praktik komodifikasi agama bukanlah hal baru di Indonesia. Kita telah melihat berbagai cara di mana kepercayaan masyarakat dieksploitasi untuk kepentingan bisnis. Dari produk makanan hingga perangkat teknologi, fenomena ini menunjukkan bahwa ada kekurangan dalam pengawasan yang memungkinkan praktik-praktik tidak etis berkembang. 

Sayangnya, kritik terhadap fenomena ini sering kali terhambat karena seringkali dianggap ‘menghina’ agama bagi mereka yang tidak mendukung praktik tersebut. Banyak orang enggan bersuara karena takut menghadapi konsekuensi sosial atau stigma negatif yang sering kali menyertai kritik terhadap komodifikasi agama. Ketakutan ini membuat mereka ragu untuk mengungkapkan ketidakpuasan meskipun mereka menyadari adanya praktik-praktik yang tidak etis.

Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual sering kali ternodai oleh kepentingan komersial. Ketika ritual keagamaan dan praktik ibadah dijadikan sebagai sarana untuk meraup keuntungan, esensi dari ajaran agama itu sendiri bisa hilang.

Melihat lebih jauh ke dalam penjualan tablet berbumbu agama dengan spesifikasi yang ‘sampah’ ini, kita dapat menyimpulkan bahwa praktik semacam ini tidak hanya mengeksploitasi kepercayaan konsumen tetapi juga menciptakan kebingungan mengenai nilai-nilai pendidikan agama yang sesungguhnya.

Setelah menelusuri lebih lanjut, saya menemukan bahwa tablet berbumbu agama tersebut sebenarnya hanyalah rebrand dari Strawberry B86 yang dijual dengan harga sekitar 600 ribu rupiah. Sebagai alternatif, ada banyak tablet lain yang menawarkan spesifikasi lebih baik dengan harga yang sebanding dengan tablet berbumbu agama ini. Misalnya, Samsung Galaxy Tab A9 yang dibanderol dengan harga 1,6 juta rupiah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline