Lihat ke Halaman Asli

Di Bawah Cakrawala Mimpi

Diperbarui: 29 November 2024   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Bing Image

Senja duduk termenung di halaman rumahnya, memandang langit malam yang bertabur bintang. Suara takbir sayup-sayup terdengar dari kejauhan, menandakan malam takbiran menjelang Idul Fitri. Namun, hatinya terasa hampa, seolah ada jurang tak terlihat yang memisahkannya dari kegembiraan di sekelilingnya.

Di usianya yang ke-17, Senja merasa terjebak antara harapan keluarga dan mimpi pribadinya. Orang tuanya, seperti kebanyakan orang tua lain, menginginkannya untuk mengejar karir yang stabil dan terhormat, seperti menjadi dokter atau insinyur. Tapi hati Senja berkata lain. Ia ingin menjadi penulis, menjelajahi dunia, dan membagikan cerita-cerita yang ia temukan.

Senja merasakan dirinya berada di antara dua pilihan yang kontras. Di satu sisi, terbentang jalan setapak yang aman namun terjal, mewakili harapan orang tuanya dan jalan hidup yang konvensional. Jalan ini menjanjikan stabilitas dan kepastian, namun terasa membatasi dan kurang menantang baginya.

Di sisi lain, terbentang lembah luas yang penuh ketidakpastian, melambangkan impiannya untuk menjadi penulis dan menjelajahi dunia. Lembah ini menawarkan kebebasan dan petualangan, namun juga mengandung risiko dan ketidakpastian yang cukup besar.

Dilema ini terus bergejolak dalam benaknya, menciptakan konflik internal yang sulit untuk diselesaikan. Senja merasa seolah-olah ia berdiri di tepi jurang, harus memilih antara melangkah ke jalan yang sudah dikenal atau terjun ke dalam ketidakpastian yang menggoda. Setiap pilihan memiliki konsekuensinya sendiri, dan keputusan yang ia ambil akan membentuk masa depannya.

Senja menutup mata, berusaha menjernihkan pikirannya. Suara takbir yang terus bergema seolah menjadi pengingat akan waktu yang terus berjalan. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan.

Lamunannya terhenti oleh suara langkah kaki yang mendekat. Senja membuka mata dan menoleh, melihat Rania, sahabatnya sejak kecil, berjalan menghampirinya di halaman.

“Hei, Jen! Kok sendirian di sini? Udah siap buat Sholat Ied besok?” tanya Rania sambil duduk di sebelah Senja.

Senja tersenyum lemah, “Entahlah, Ran. Rasanya tahun ini berbeda.”

Rania menatap sahabatnya dengan khawatir. “Ada apa, Jen?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline