Lihat ke Halaman Asli

Riski Rosalie

Listen, Keep, Write it Down

Melawan Pilu Masa Lalu dengan Tato

Diperbarui: 1 Februari 2020   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: shutterstock


Tato merupakan seni dengan tubuh sebagai kanvasnya. Tinta dirajah ke dalam kulit dengan pola tertentu. Tato melekat erat dengan beberapa kebudayaan di dunia. Di Indonesia, tato merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Dayak dan Mentawai. Tato juga merupakan identitas. 

Sayangnya tato kerap disangkutkan dengan kriminal. Di Jepang misalnya, orang yang bertato sering dianggap sebagai anggota kriminal, Yakuza. Di Indonesia tato memiliki sejarah kelam pada masa Orde Baru. Orang yang bertato sering menjadi buruan pemerintah. Pada saat itu, orang yang bertato akan dicap sebagai pelaku kriminal dan preman. Sampai saat ini tato masih sering mendapat stigma buruk di masyarakat. 

Dalam sejumlah kasus, tato merupakan pertahanan diri. Siapa sangka bahwa tato juga dapat menjadi bentuk pertahanan diri dari ancaman sekitar, maupun membunuh masa lalu yang kelam dari si pemiliki tato. 

Untuk kasus di luar negeri, tepatnya di Amerika Serikat, banyak perempuan yang bertato untuk bertahan hidup dari hantu masa lalu yang kelam. Kebanyakan dari mereka adalah mereka yang pernah menjadi korban human trafficking

Mereka pernah dijual oleh pacar mereka, atau oleh tetangga mereka untuk dijadikan budak prostitusi. Mereka akan mendapat tato di bagian tangan mereka yang menginformasikan bahwa mereka adalah budak prostitusi. Para perempuan yang telah keluar dan selamat dari kejahatan ini kemudian menimpa tato di tangan mereka dengan tato lain. 

Mereka harus bertahan dan kuat menjalani sisa hidup mereka dengan membunuh masa lalu yang bersemayam di tato lama tersebut. Dengan ditimpanya tato tersebut, memberi harapan bagi mereka untuk mengubur masa lalu yang menyakitkan itu. Sayangnya masih banyak masyarakat yang salah mengartikan para perempuan yang bertato ini. 

Di Indonesia, tato sebagai pertahanan diri juga ditunjukan oleh sejarah para wanita tua di Timor. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, banyak wanita-wanita muda di Timor yang mentato tubuh mereka. Ini bukanlah untuk seni, melainkan pertahanan diri agar mereka tidak menjadi budak seksual tentara Jepang. 

Motif-motif garis menghiasi tangan dan kaki mereka. Tato-tato tersebut untuk mengelabui tentara Jepang pada saata itu agar tidak mengganggu wanita-wanita ini. Hal ini karena tato tersebut seolah menandakan bahwa wanita-wanita yang bertato di Timor kala itu sudah menikah, sehingga dipantangkan bagi tentara Jepang untuk mengganggu mereka. 

Diketahui bahwa dalam budaya Jepang, wanita yang sudah menika harus dihormati. Hal inilah yang menjadi celah bagi wanita-wanita ini untuk melindungi diri mereka. Hal ini berhasil, tentara Jepang tidak berani mengganggu mereka yang sudah bertato. Sayangnya penggunaan tato oleh wanita-wanita di Timor tidak diteruskan oleh generasi seterusnya karena menguatnya stigma buruk pada orang yang bertato. 

Saat ini masyarakat sudah sedikit mulai terbuka dengan tato. Pengguna tato sudah semakin banyak. Selain untuk seni, ada yang bertato untuk membentuk identitas diri, identitas kebudayaan, atau pertahanan diri sebagaimana kasus-kasus di atas, entah itu untuk masa lalu yang kelam, atau terhadap hal lainnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline