Seusai gelombang demonstrasi terbesar yang pernah melanda Hongkong yang sempat menyita perhatian dunia di tahun 2019, pemerintah Hongkong yang terafilasi erat dengan Tiongkok daratan di tahun 2020 memperkenalkan dan menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional (NSL) di Hong Kong, dan memperluasnya bulan lalu dengan apa yang dikenal sebagai Pasal 23.
Pasal 23 ini mengatur kejahatan baru seperti sabotase, penghasutan, pencurian rahasia negara dan spionase, dan memberlakukan ancaman hukuman penjara maksimal seumur hidup bagi siapa saja yang melangarnya. Pasal 23 ini memang sengaja dimaksudkan agar gelombang demonstrasi yang pernah melanda Hong Kong tidak terulang lagi karena pasal ini mengatur pelangaran berat bagi pelakunya dan akan dikategorkan sebagai tindakan makar dan pemberontokan.
Pasal 23 ini juga mengatur persidangan yang dapat dilakukan secara tertutup dan tersangka dapat ditahan hingga 16 hari tanpa dakwaan. Pasal ini tidak saja berkalu bagi masyarat Hong Kong saja namun juga bagi warga asing. Terkait dengan penerapan pasal 23 ini masyarakat Hong Kong memang sempat terbelah karena sebagian merasa terancam kekebasannya dalam mengekspresikan pendapatnya sebagian lagi menganggapnya sebagai pengaturan yang baik untuk menjaga stabilitas nasional.
Sebagai contoh jika seorang dosen di Hong Kong karena bidang ilmunya dalam mengemukakan pendapatnya ataupun memberi kuliah yang tidak sesuai maka bukan tidak mungkin akan dikenakan pasal ini dan tindakannya akan dianggap sebagai tindakan pribadi dan tidak akan mendapat pembelaan dari universitasnya.
Sejak diberlakukanya pasal 23 ini telah terjadi penangkapan sebanyak 292 orang atas dasar penerapan undang undang keamanan nasional ini. Dengan diberlakukannya undang undang keamanan nasional ini tampaknya telah terjadi self-censorship baik di kalangan mahasiswa dan dosen untuk saling mengingatkan dan menjauhi topik penelitian yang sebelum diberlakukannya undang undang ini dianggap aman dan legal.
Pasal 23 ini memang dapat menjerat siapa saja baik yang menyangkut di dunia maya yang dikategorikan sebagai tindakan kritik dan pengasutan yang mengarah pada menyebaran kebencian pada pemerintah Hongkong maupun Tiongkok.
Pasal 23 ini juga berimbas pada media yang hanya memiliki dua pilihan yaitu menuruti aturan ini atau menutup medianya di Hongkong. Kasus terbaru terjadi dua minggu lalu ketika salah seorang perwakilan dari kelompok pengawas Reporters Without Borders, ditahan dan kemudian dideportasi ketika dia baru tiba di Hong Kong untuk memantau persidangan penting terhadap taipan media pro-demokrasi Jimmy Lai.
Penangkapan ini mencerminkan bahwa baik warga Hong Kong maupun non Hongkong kini diawasi oleh pemerintah dan bagi pencinta kekebasan berpendapat jelas hal ini tidak dapat diterima. Oleh sebab itu banyak negara yang memperingatkan warganya agar lebih berhati hati agar tidak terjerat hukum di Hong Kong.
Terlepas dari kekhawatiran sebagaian orang terkait pasal 23 ini yang dianggap akan mengerus hak dan kekebasan di Hong Kong, kehidupan masyarakat Hong Kong umumnya berjalan seperti biasanya dan perekonomian berjalan normal. Hong Kong tetap menjadi kota komersial dan pusat keuangan tersebut dimana banyak pekerja asing yang beraktivitas di Hong Kong.
Jadi pada intinya masyarakat Hong Kong ini sudah mulai terbiasa melakukan self-censorship sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari termasuk kelompok pengiat hak asasi manusia dan akademisi.