Rasanya teriris dan perih sekali perasaan ini ketika pada salah satu grup diskusi muncul curahan hati mantan Guru Besar yang dimasa aktifnya berperan sangat besar dalam menghasilkan SDM terdidik dan unggul yang saat ini dengan perasaan galau mengungkapkan bahwa dirinya harus dapat bertahan hidup setiap bulannya dengan uang pensiun sebesar Rp. 5.400.000 yang menurut standar hidup normal masuk kelompok masyarakat yang perlu mendapat bantuan sosial. Apa yang diungkap oleh pensiunan Guru Besar ini bukanlah sekedar kasus pencilan, namun merupakan fenomena umum yang menimpa pensiunan Guru Besar di hari tuanya.
Entah berapa ratus sarjana, magister dan doktor yang telah dihasilkan oleh seorang guru besar selama masa aktifnya yang tentu saja merupakan aset yang sangat berharga bagi masa depan bangsa ini, namun di masa purnabaktinya tampaknya perhargaan yang diterima oleh mantan Guru Besar belumlah menjamin untuk dapat hidup dengan tenang menghabiskan sisa hidupnya.
Jika ditelisik lebih dalam lagi uang pensiun sebesar Rp. 5,4 juta ini pastilah sudah yang tertinggi yang diberikan pada pensiunan dengan pangkat terakhir IVe. Secara realitas di kota besar hidup all in dengan uang pensiun sebesar ini memang tergolong sulit, apalagi di usianya semakin lanjut (di atas 70 tahun) masalah kesehatan mulai menggerusnya yang jika sakit akan menggerus uang pensiun yang sebagian besar dialokasikan untuk biaya kebutuhan hidup yang makin mencekik.
Dengan mengikuti BPJS sekalipun sering kali pensiunan Guru Besar mengalami kesulitan berobat karena ada keterbatasan biaya pengobatan yang diganti. Disamping itu untuk mendapatkan fasilitas kesehatan melalui BPJS dengan usia yang sudah lanjut perlu perjuangan sendiri yang tidak mudah karena harus berdesak desakan dan menunggu antrean yang sangat panjang. Jadi tidak heran jika ada pensiunan Guru Besar sedang sakit ada kolega yang menginisiasi mengumpulkan dana "tali kasih" untuk sekedar mengurangi biaya pengobatan yang harus dikeluarkannya.
Di masa aktif seorang Guru Besar walaupun tidak berlebihan dapat dikatakan masih dapat hidup dengan layak karena adanya tunjangan sertifikasi dosen, tunjangan anak dan istri, dan tunjangan kehormatan Guru Besar yang jumlahnya jauh di atas gaji pokok. Namun setelah memasuki masa pensiun semua tunjangan ini hilang seketika kecuali sebagian dari gaji pokok nya yang menjadi andalan hidup pensiunan Guru Besar.
Memang dalam beberapa kasus cukup banyak juga Guru Besar yang hidupnya sukses dan dapat menikmati hari tuanya dengan sangat layak, namun masalah yang dingkat angkat ini adalah masalah yang umum yang dihadapi oleh pensiunan Guru Besar. Oleh sebab itu tidak heran di Indonesia memasuki masa pensiun bukan menjadi masa yang menyenangkan namun seringkali menimbulkan stress karena dihantui oleh pikiran akan kurangnya jaminan hidup di hari tua setelah berkerja keras selama puluhan tahun.
Jadi tidak heran jika banyak diantara Guru Besar ini yang tadinya kesehatannya cukup baik ketika memasuki masa pensiun kesehatannya menurun secara drastis akibat beban pikiran yang terus menghatuinya agar dapat menjalani masa pensiunnya dengan baik.
Berbeda dengan di negara maju dimana masa pensiun merupakan masa yang ditunggu tunggu untuk menikmati sisa hidup baik oleh guru maupun guru besar karena selain selama aktifnya mendapatkan penghasilan yang sangat layak juga dimasa pensiunnya pun mendapat jaminan hidup dengan layak dan tenang karena diberikan berbagai jaminan sosial disamping gaji pensiunnya.
Ilustrasi: The Walrus.
Pernah ada satu kasus dimana pensiunan Guru Besar dan istrinya sama sama masuk rumah sakit. Istrinya yang mantan peneliti yang juga telah mencapai puncak karirnya sebelum pensiun dengan jenis sakit yang memerlukan biaya perawatan dan pengobatan yang sangat besar. Pasangan ini harus dirawat berbulan bulan di rumah sakit dan karena tidak memiliki anak sampai dijaga dan dirawat oleh mantan mahasiswanya dan tentunya dapat dibayangkan seberapa besar biaya pengobatan yang harus dikeluarkannya.