Tidak banyak yang mengetahui bahwa Papua New Guinea (PNG) merupakan salah satu negara di wilayah Pasifik Barat Daya dimana masyarakatnya masih melakukan poligami walaupun secara hukum sudah dilarang mulai tahun 2014 lalu.
Di wilayah Pasifik Barat Daya poligami memang memilki sejarah panjang dimana mana seorang pria sudah umum kawin dengan lebih dari satu wanita.
Jika dilihat dari lini waktu, poligami memang umum dilakukan oleh orang kaya di wilayah ini di era sebelum tahun 1800 an ketika misionaris belum masuk ke wilayah ini. Salah satu tujuan untuk melakukan poligami bagi tuan tanah ataupun orang kaya lainnya adalah mengawini wanita agar para istri ini bekerja di kebun, memelihara babi dan melahirkan anak.
Pada intinya poligami di era tersebut lebih terkait pada status sosial. Artinya seorang pria yang melakukan poligami status sosialnya akan semakin meningkat dan menjadi orang yang terpandang.
Dampak Poligami yang Menghancurkan
Dengan berjalannya waktu ternyata praktik poligami di PNG menyisakan masalah tersendiri bagi wanita yang dipoligami dan juga anak anaknya dan mulai mengundang kecaman dari berbagai pihak.
Bahkan Division for the Advancement of Women PBB menyebut bahwa praktik poligami berakibat destruktif dan membahayakan karena menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan juga anak peremuan yang dilakukan oleh suami ataupun istri.
Ditengarai poligami juga menyuburkan perdagangan manusia karena perempuan ataupun anak perempuan dipaksa untuk kawin bukan atas dasar keinginannya.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh ABC Australia, biasanya para istri yang dipoligami hampir tidak memiliki kekuatan apapun untuk menolak keinginan suaminya, sehingga tidak jarang seorang istri memiliki jumlah anak yang sangat banyak sampai mencapai 10 anak.
Dalam situasi seperti ini suami yang melakukan poligami harus membagi pendapatannya untuk mengidupi lebih dari satu rumah tangga yang tidak jarang akhirnya tidak dapat lagi membiayai keluarganya.