Hari ini setahun kudeta yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar yang merampas secara paksa mandat pemerintahan yang dipilih secara sah oleh rakyat telah berlalu.
Pada tanggal 1 Februari tahun lalu pihak militer menangkap dan menahan Aung San Suu Kyi dan juga anggota National League for Democracy yang mememangkan pemilu dengan telak mengalahkan kandidat dari pihak militer pada pemilu yang dilangsungkan bukan Nopember 2020.
Sejak itulah pemerintahan diambil alih oleh panglima militer Min Aung Hlaing dengan gaya pemerintahannya yang represif menumpas setiap gerakan yang bersuara sumbang terhadap pemerintahannya dan militer.
Sejak tanggal bersejarah itulah Myanmar yang merupakan yang merupakan salah satu anggota ASEAN yang bergabung di tahun 1997, situasi semakin memburuk dan terjadi hal hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Perlawanan yang diberikan rakyat dengan harapan pemerintah yang dipilih secara demokratis dikembalikan, ditindas dan dihancurkan secara brutal oleh pihak militer.
Tidak hanya sampai di situ saja pihak militer Myanmar menyisir sampai ke desa desa dan membakar rumah rumah penduduk untuk untuk memadamkan api demokrasi yang dikibarkan oleh rakyat Myanmar.
Sudah tidak terhitung berapa korban jiwa yang melayang akibat tindakan represif yang dilakukan oleh pihak militer. Data yang dikeluarkan oleh beberapa pihak menunjukkan korban jiwa sudah lebih mencapai 1.500 orang. Namun jumlah korban jiwa sebenarnya tentunya jauh lehih tinggi dari angka ini.
Para tokoh sipil yang dinilai berpotensi untuk menjadi ancaman kekuasaan militer satudemi satu ditangkap dan diadili serta dipenjara termasuk Aung San Suu Kyi.
Tindakan represif yang dilakukan oleh militer Myanmar ini sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan dan sayangnya dunia hanya dapat duduk manis menonton pentunjukan ini.