Tidak banyak orang memperkirakan sebelumnya bahwa Aung San Suu Kyi yang dikenal dunia sebagai pejuang hak azasi manusia yang mengalami penindasan kebebasan berpendapat di Myamar, mengalami tahanan rumah selama 15 tahun oleh penguasa militer yang berujung pada diberikannya hasiah Nobel akhirnya kini menghadapi era yang tidak terbayangkan sebelumnya, yaitu peradilan internasiona atas tuduhan terjadinya genosida terhadap kelompok minoritas Rohingya.
Pejuang hak azasi manusia ini tersandung kasus pelanggaran hak azasi manusia kelompok minoritas Rohingya yang menyebabkan sebanyak 730 ribu yang kebanyakan muslim mengungsi terpaksa ke Bangladesh di tahun 2017 lalu akibat pihak militer Myanmar melakukan gerakan yang mereka namakan pembasmian sel teroris.
Rohingya memang sudah lama menjadi permasalahan domestik yang sangat merepotkan bagi Myanmar. Seorang teman saya yang pernah bertugas cukup lama di Myanmar menyatakan memang perlakukan pemerintah terhadap minoritas Rohingya ini secara kasap mata memang berbeda yang menyebabkan kelompok minoritas ini hidup tidak layak.
Hal ini tercermin dari kualitas hidup dan fasilitas kesehatan serta keterbatasan perkonomian yang membuat kelompok ini dapat dikatakan sebagai warga negara kelas dua.
Secara kasap mata memang kelompak minoritas Rohingya ini berbeda dengan kebanyakan warga Myanmar baik dari segi fisik maupun kepercayaannya.
Posisi Aung San Suu Kyi memang serba salah karena walaupun Aung San Suu Kyi sebagai kepala negara, namun pengaruh militer sangat kuat. Jadi tidak salah jika dikatakan bahwa Aung San Suu Kyi hanya sebagai simbol saja namun tidak memiliki kekuatan untuk menentang kehendak dan kebijakan kelompok militer yang masih sangat kuat dan sudah mengakar sebelumnya.
Kasus pengungsi Rohingya kini memasuki babak baru ketika Gambia sebuah negara kecil di Afrika Barat mengajukan kasus ini ke pengadilan internasional (the International Court of Justice (ICJ) atas tuduhan telah terjadinya genosida yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar. Dalam mengajukan kasus ini Gambia didukung oleh Organisation for Islamic Cooperation (OIC) yang beranggotakan 57 negara.
Dengan diajukannnya kasus ini ke pengadilan internasional maka proses peradilan akan segera dimulai untuk mengadili apakah benar tuduhan bahwa pihak militer Myanmar melakukan pembunuhan massal di bulan Agustus 2017 lalu terhadap kelompok minoritas Rohingya serta melakukan diskrimiasi rasial.
Pengadilan ini diperkirakan akan memberikan perhatian yang lebih besar kepada kelompok jenderal yang berkuasa yang memberikan perintah pembuhuhan terhadap kelompok minoritas terutama pada Pimpinan militer Myanmar yang bernama Min Aung Hlaing.
Ada dua argumentasi yang bertolak belakang terkait kasus Rohingya ini. Pihak Myanmar terutama militer beranggapan kelompok minoritas ini merupakan sarang teroris yang menjadi sumber beberapa kekacauan yang terjadi di Myanmar sehingga perlu dibasmi.
Sebaliknya pihak internasional menganggap bahwa tidakan militer Myanmar yang melakukan pembunuhan massal merupakan salah satu langkah terstruktur dalam upaya mengusir kelompok minoritas ini keluar dari wilayah Myanmar.