Lihat ke Halaman Asli

Ronny Rachman Noor

TERVERIFIKASI

Geneticist

Kebijakan Satu Anak dan Fenomena Bujang Lapuk yang Melanda Tiongkok

Diperbarui: 13 Januari 2018   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemuda Tiongkok yang mendapatkan istri dari Indonesia. Photo: Al Jazeera, i.ytimg.com

Mungkin tidak pernah terbayangkan oleh pemerintah Tiongkok sebelum, setelah lebih dari 35 tahun penerapan kebijakan one child one policy, fenomena kesulitan mencari istri sekarang sedang melanda Tiongkok.

Penerapan kebijakan satu anak per keluarga yang diterapkan di era tahun 1980 an ditujukan untuk mengontrol angka kelahiran yang saat itu sangat mengkhawatirkan itu kini menunjukkan dampaknya walaupun kebijakan ini sudah diperlonggar pada tahun 2015 lalu.

Kebijakan one child yang diterapkan tahun 1979 kini mulai menimbulkan dampaknya. Sumber:i.ytimg.com

Hal yang paling menarik  ketika peraturan ini diterapkan adalah respon masyarakat yang cenderung ingin memiliki anak laki-laki karena alasan budaya yang menempatkan anak laki-laki sebagai penerus marga dan aset penerus usaha keluarga.

Dampak kebijakan one child terhadap keseimbangan gender. Sumber: s3.mirror.co.uk

Akibatnya selama kurun waktu 35 tahun terjadi  perubahan struktur populasi yang mengarah pada jumlah laki-laki yang lebih banyak jika dibandingkan dengan perempuan. Saat kebijakan berlangsung keluarga pada umumnya memeriksakan jenis kelamin bayinya saat usia kandungan 2 bulan. Jika janin tersebut berjenis kelamin perempuan, maka akan dilakukan aborsi.

Data empiris menunjukkan bahwa saat ini  diprediksi 1 dari setiap 5  pemuda Tiongkok tidak akan mendapatkan wanita untuk dijadikan istri.

Ketidak seimbangan gender akan terus berlanjut. Sumber: CNN , i2.cdn.turner.com

Ketidakseimbangan gender ini memang sangat mengkhawatirkan dan kemungkinan besar pada saat diluncurkan program one child one family kurang diperkirakan dampak dalam jangka panjangnya. Dalam jangka pendek kebijakan ini memang sangat ampuh untuk menahan meledaknya populasi Tiongkok, namun  dalam jangka panjang justru akan menimbulkan masalah baru.

Tanda-tanda ketidakseimbangan ini terjadi baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan. Di wilayah pedesaan akibat banyaknya anak laki-laki yang lahir, maka jumlah anak perempuan menjadi langka. Padahal di wilayah pedesaan perempuan sangat diandalkan dalam hal pekerjaan sehari hari, pekerjaan di pertanian dan mengurus orang tua.

Kekurangan calon istri ini membuat banyak pemuda di wilayah pedesaan menjadi bujang lapuk dan justru menjadi beban keluarga. Usia umum pemuda melangsungkan perkawinannya adalah antara 22-24 tahun.  Usia pemuda 27 tahun sudah dianggap kadaluarsa jika belum mendapatkan istri. Sulitnya mendapatkan istri ini tidak saja menjadi beban mental si pemuda juga menjadi semacam "aib" bagi keluarga karena anaknya dinilai tidak laku.

Di wilayah perkotaan fenomena ini juga terjadi. Jika dilihat dengan kasap mata, maka ketidakseimbangan gender ini walaupun tidak separah di pedesaan namun sudah terjadi dan dalam tahap yang mengkhawatirkan.

Di pabrik garmen, pabrik elektronik dan pabrik lainnya yang menggunakan tenaga kerja massal fenomena ini tampak jelas. Jika sekitar 25 tahun yang lalu pabrik yang menggunakan tenaga kerja masal ini didominasi oleh pekerja perempuan dengan perbandingan sekitar 20% laki : 80% perempuan, kini rasio itu merangkak, di mana jumlah proporsi pekerja laki laki justru sudah melebihi proporsi 50%.

Dalam kondisi kekurangan wanita untuk dijadikan istri ini, tentu saja membuat perempuan memiliki kesempatan untuk memilih lebih selektif calon suaminya baik dari segi besaran penghasilan dan juga ketampanannya. Semakin selektifnya perempuan untuk memilih calon suami inilah  yang membuat jumlah bujang lapuk di wilayah perkotaan mulai menumpuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline